Kita patut bersyukur bahwasanya kita sudah modern sekarang dengan contoh nyata dunia perkeretaapian kita sekarang selaku moda transportasi massal. Jabodetabek, khususnya Jakarta, boleh dibilang adalah contoh modernisasi terdepan negeri ini.Â
Kita berharap subway yang tadinya jauh dari impian kita akan segera menjadi kenyataan, begitu juga LRT yang meluncur di jalan layang, termasuk ke depannya bus-bus listrik yang bakal mengisi armada Transjakarta ke depan ini.
Demikian pula halnya kesadaran wisata kita yang semakin tinggi sekarang ini sebagaimana dicontohkan kota tua Batavia yang sudah rapi dan terpelihara dengan baik demi dan untuk kelestariannya berabad-abad ke depan.
Kesadaran wisata sejarah ini juga sudah menggembirakan di sejumlah daerah seperti Jawa timur. Legacy Belanda cukup banyak di daerah ini, ntah itu di Surabaya, Jember, Madiun, Blitar, Malang dst.
Di kota Malang misalnya yang pemkotnya sudah mengembangkan Kajoetangan Heritages di downtown Malang.Â
Kini Kajoetangan Heritages selaku wisata kota tergres yang mulai ramai itu telah menginspirasi warga bahwa legacy Belanda dalam lintasan sejarah kota Malang perlu memang dilestarikan.Â
Sampai-sampai terpikirkan bahwa pohon-pohon tua legacy Belanda pun, ntah itu pohon Trembesi, Kenari dan Beringin yang umurnya di atas 100 tahun, juga perlu dilestarikan sejauh para akhli dapat memikirkan bagaimana teknik pelestariannya.
Di perkotaan di mana pun itu, kita akan melihat bahwa di downtown atau pusat kota dengan jari-jari 1-3 Km pastilah banyak bangunan-bangunan tua legacy Belanda, kecuali legacy yang jauh sebelum itu.
Entah itu legacy Kanjuruhan di kota Malang yang sudah tertimbun oleh perjalanan waktu atau legacy Majapahit di Mojokerto yang sampai sekarang para arkeolog masih pusing menggali dan mereka-rekanya sesuai metoda potassium karbon dalam arkeologi ragawi apakah masih termasuk era Majapahit atau bukan.