Kalaulah legacy pra Belanda itu utuh tergali dan dirapikan seperti legacy Romawi di Italia sana, tentu obyek wisata sejarah tsb semakin bermagnitudo kuat ibarat kereta maglev zaman now.Â
Turis asing kategori tersier dan kuarter pasti akan berbondong-bondong datang untuk berwisata ke tempat bersejarah dimaksud.
Kalau seminggu di kota Malang setelah kemarin-kemarin traveling ke Jakarta dan sempat ke Kepulauan Seribu untuk mengunjungi Pulau Onrust dan Pulau Kelor yang punya jejak bagus yi Benteng Martello.
Sayapun delak-delok atau mencoba mengamati dan menelisik lebih jauh legacy Belanda di bilangan Diponegoro. Itu saya lakukan sehabis menikmati kuliner Cui Mie, kuliner khas Malang, semacam Mie Ayam Kering tanpa kuah yang nyuss banget.Â
Letaknya di pertengahan Jln Diponegoro tak jauh dari Kolese Cor Jesu yang terkenal di Jln Jakgung Suprapto yang juga adalah legacy Belanda.
Kalau Tugu Malang dimana Balaikota, Gedung DPRD dan Splendid Inn berada yang disebut-sebut sebagai titik zero di kota Malang, maka Jln Diponegoro yang saya delak-delok ini ada pada kisaran jari-jari Km 2. Ini tentu masih termasuk bouwplan 1 atau bagian dari pengembangan kota Malang yang pertamakali di zaman Belanda.
Bangunan legacy Belanda disini sepertinya sudah jelas penghuninya yi orang baru yang mampu merawat dan melestarikannya. Terbukti bangunan tua itu rapi terpelihara.Â
Dari sekian banyak legacy Belanda di Jln Diponegoro, hanya beberapa yang tak kuat lagi memeliharanya dan sepertinya para pemilik sudah memasang plang di depan rumahnya bahwa rumah tua itu akan dijual.
Dinamika zaman memang seperti itu. Tak ada yang abadi sejauh kepemilikan. Perkembangan ekonomi dimana warga connected di situ, akan menentukan apakah para pemilik rumah-rumah tua ini mampu beradaptasi dengan zaman. Tak heran kepemilikan rumah tua pun silih berganti.