Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menimbang Pemilu Serentak dan Sistem Presidential Sekarang

22 November 2022   17:17 Diperbarui: 24 November 2022   11:17 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Suasana penghitungan suara Pemilihan Umum 2019 di Tempat Pemungutan Suara 039 Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2019). (Foto: KOMPAS/YUNIADHI AGUNG)

Membaca uraian di atas, tak pelak lagi sistem politik kita memang sudah sampai pada tahapan yang ideal bagaimanapun kontroversinya itu bagi sebagian politisi kita. 

Mereka yang berambisi untuk jadi penguasa tapi tak kuasa menggapainya kecuali memperalat sebagian publik yang kosong-melompong benaknya tentang ketatanegaraan kita, ya wajar. Maka lahirlah politik identitas dan fundamentalisme dalam berpolitik.

Tapi apabila dicermati lebih jauh tentang ambang batas ntah itu pemilu presiden dan pileg, maka kita akan menyadari betul bahwa republik ini tak boleh lebih lama lagi berleha-leha soal itu. 

Kotak suara rakitan dan petugas pemeriksa kotak suara. Foto : nasional.tempo.co
Kotak suara rakitan dan petugas pemeriksa kotak suara. Foto : nasional.tempo.co

Benar Fukuyama bahwa demokrasi adalah puncak peradaban manusia sekarang ini, tapi itu akan cenderung beroligarki apabila para penyempurna reformasi lupa bahwa keparpolan memang harus disederhanakan tanpa harus menyederhanakannya secara paksa, tapi parpol yang beraneka rupa itu akan memfusi secara alami seperti yang diseleksi oleh UU Pemilu sekarang.

Di zaman Orba kita tahu bahwa Golkar adalah anak kandung regime yang berkuasa di masa itu. Sedangkan PDI dan PPP adalah fusi dari aneka macam partai sejak masa revolusi hingga zaman Orba. 

PDI segala macam aliran sosialis, segala macam aliran nasionalis terintegrasi disitu. Sedangkan PPP adalah fusi dari segala macam partai identitas islam, mulai dari Masjumi hingga partai Hezbollah.

Kalaupun sekarang PPP didampingi PAN, PKB dan PKS, yang mungkin banyak berbeda hanyalah PKS yang banyak terinspirasi Ikhwanul Muslimin di Mesir sana. 

Sayangnya ini dimix dengan aliran ideologis Wahabi. Tak heran di zaman Esbeye dulu kita kecolongan segala macam perda-perda identitas, termasuk radikalisasi kampus. Itulah kepiawaian PKS ketika itu dalam melakukan penyusupan ke segala lini pemerintahan dan kemasyarakatan.

Tapi dengan dicabutnya izin HTI dan FPI, sterilisasi kampus dari kalangan radikal dst, maka penggunaan massa yang dibodoh-bodohi tidak lagi bisa seenak udelnya. Katakanlah penggunaan massa yang dibodoh-bodohi itu masih ada, tapi tentu tidak lagi sevulgar dulu. 

Lihat kota Depok, Sukabumi, Bogor, Cianjur dan Jabar secara keseluruhan misalnya. Wilayah ini memang sudah diPekaeskan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun