Bjorka tidak mengungkap langsung soal hasil temuan dan rekom TPF ini, tapi dari sepakterjangnya dalam meretas data terkait masalah politik, keuangan, hukum dan keadilan, figur-figur capres yang diunggulkan ke depan ini, peminta-minta bantuan sarana dan prasarana kepada presiden, sepertinya sang hacker yang muncul tiba-tiba seakan superhero ini sekaligus sebagai kriminal cyber bagi mereka yang terusik, khususnya pejabat-pejabat pemerintah, akan mampu sekali membeber dokumen TPF Munir yang dikatakan raib itu.
Soal retas-meretas zaman now saya kira tak perlu dibesar-besarkan. Dalam konteks global sejak 1970-an masalah cyber seperti ini sudah ada. Kita lihat dalam spionase industri yang dilakukan Israel dan China misalnya.Â
Kedua negara yang kini digdaya dalam kemiliteran itu tak cukup hanya mengandalkan agen di lapangan yang piawai mencuri data secara langsung dengan menyuap fabrikan untuk mendapatkan blueprint sebuah teknologi yang teranyar, misalnya pesawat tempur, kapal selam, peluru kendali dst seperti yang digambarkan dalam film-film spy barat, tapi juga kepiawaian meretas situs-situs web industri militer dari jarak jauh atau dimanapun.
Dalam koteks idealisme, kita pernah melihat kasus cyber Julian Assange, seorang editor, penerbit dan aktivis Ausie yang mendirikan WikiLeaks pada 2006. WikiLeaks menjadi perhatian dunia pada 2010 ketika menerbitkan serangkaian bocoran yang diberikan oleh analis intelijen Angkatan Darat AS Chelsea Manning seperti pembunuhan massal dalam serangan udara Baghdad (April 2010), catatan perang Afghanistan (Juli 2010) dan catatan perang Irak (Oktober 2010) dan Cablegate (Nopember 2010).Â
Setelah kebocoran 2010, pemerintah AS meluncurkan penyelidikan kriminal ke WikiLeaks, bahkan rencana pembunuhan Assange oleh CIA. Juga di Indonesia pada pertengahan 1960-an dimana salah satu perekayasa tumbangnya Soekarno adalah CIA yang baru pada tahun 2000-an membuka secret file yang selama ini tak banyak kita ketahui. Beberapa penulis barat sempat mengcopy secret file itu sebelum dimusnahkan CIA.
Julian Assange yang sudah berpindah kemana-mana untuk asylum akhirnya terdampar di penjara Inggeris sampai sekarang. London sejauh ini tak pernah berkehendak untuk mengekstradisi Assange ke AS. Diduga pemerintah Inggeris juga berkepentingan bagaimana agar Assange tetap di Inggeris. Tapi dalam kasus G 30 S siapa yang akan kita tangkap dan adili. Tanya jugalah kepada angin yang berdesir.
Dalam spionase industri dan kasus Assange di atas, jelas bahwa jual-beli dokumen baik digital maupun non-digital telah berlangsung lama. Kalaupun dalam konteks negara ada yang disebut penghianat ya si pembocor itu.Â
Assange si pembeli bisa saja dicecar hukum, tapi dalam konteks kebebasan pers yang universal, publik dunia tentu perlu tahu bagaimana taktik dan strategi negara-negara adidaya dalam persaingan global sekarang, apakah semuanya fairly competition atau bulshitt, Â karena faktanya seperti diungkap WikiLeaks yang diolah dari si pembocor, politik global AS ternyata kotor tor tor tor.Â
Itu yang didukung warga dunia. Sedangkan Julian Assange hanyalah seorang idealis sebagaimana halnya para jurnalis, penulis opini, para mahasiswa dan kalangan akademisi pada umumnya.
Spionase industri pun demikian, karena memang alih teknologi itu takkan pernah ada sebagaimana diiming-imingi kepada Indonesia selama ini. Seumur hidup ya kita hanya punya mesin Toyota, Daihatsu dan Suzuki, tapi tak pernah berswasembada mesin merk lokal seperti katakanlah merk Tobing, Sarjono, Tjokro, Udin dst. Iptek dan inovasi puluhan tahun kan muahal, kata dunia barat yang beriptek tinggi.Â
So, peluang yang tersedia hanya bagaimana mencurinya dengan cara canggih agar dapat dimodifikasi sesuai maunya negara yang melakukan spionase industri itu. Digdayalah Iptek Israel dan China sekarang karena keberhasilan spionase industrinya.