Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Pendistribusian MinyaKita di Daerah Belum Optimal

14 September 2022   19:05 Diperbarui: 15 September 2022   06:38 1860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Minyak goreng curah Minyakita dalam kemasan modern dengan HET Rp14.000 per liter. (Foto: Parlin Pakpahan)

Awal tahun lalu kita kaget sampai teriak-teriak soal kenaikan harga minyak goreng. Yang dituding sebagai pemicu ya macam-macam, mulai dari ketidakbecusan pemerintah mengendalikan harga CPO, sampai hukum ekonomi penawaran permintaan yang dihoohin tapi lebih banyak dijadikan perdebatan tak berujung, misalnya gegara lonjakan minyak nabati dunia yang naik menjadi US$1.340 MT (Metrik Ton). 

Kenaikan harga CPO ini menyebabkan harga minyak goreng ikut naik cukup signifikan. Yang lain gegara permintaan bio diesel untuk program B30.

Pemerintah jauh hari sebelumnya mencanangkan program B30, yakni mewajibkan pencampuran 30% biodiesel dengan 70% bahan BBM jenis solar untuk mengurangi laju impor BBM dan yang terakhir juga banyak dituding adalah gegara pandemi Covid-19, dimana harga minyak goreng terus merangkak naik disebabkan terganggunya matarantai logistik kita.

Meski Indonesia adalah salah satu produsen CPO terbesar di dunia, namun kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO.

Para produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai harga pasar lelang dalam negeri, harga lelang KPBN (Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara) Dumai yang juga terkorelasi dengan harga pasar internasional.

Akibatnya apabila terjadi kenaikan harga CPO internasional, maka harga CPO dalam negeri juga turut menyesuaikan harga internasional.

Hiruk pikuk persoalan mahalnya minyak goreng tsb, sempat membuat kacau bisnis minyak sawit dunia. CPO yang diproduksi Indonesia menjadi pasokan utama bagi pasar dunia yang membutuhkan minyak nabati. Lantaran mengalami pelarangan ekspor, maka konsumen global kesulitan mendapatkan pasokan CPO dari Indonesia.

Pasca pemberian izin kembali ekspor CPO dan produk turunannya, juga regulasi terkait kewajiban para eksportir untuk menyuplai kebutuhan pasar melalui Domestic Market Obligation (DMO) dengan harga yang sudah ditetapkan melalui Domestic Price Obligation (DPO), semacam pesan kepada dunia akan pentingnya keberadaan minyak sawit di Indonesia. Harga minyak goreng perlahan-lahan mulai turun, tapi masih belum sesuai betul dengan harapan berbagai kebijakan yang diluncurkan.

Minyak goreng kelas premium Filma yang sulit beringsut turun. Foto : Parlin Pakpahan.
Minyak goreng kelas premium Filma yang sulit beringsut turun. Foto : Parlin Pakpahan.

Minyak sawit yang diolah menjadi minyak goreng sawit di pasar domestik, sempat menyakiti ekonomi rakyat dengan kenaikan harga tertinggi hingga Rp25.000-Rp30.000/liter akibat harga jual CPO yang melambung tinggi di pasar dunia. Keberadaan minyak goreng sawit sebagai salah satu dari kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako), sempat menyebabkan naiknya inflasi nasional.

Presiden Jokowi lalu mengeluarkan instruksi untuk menjamin keberadaan minyak goreng sawit bagi seluruh rakyat Indonesia dengan penyediaan minyak goreng curah dengan harga terjangkau sebesar Rp14.000/liter. Ketersediaan minyak goreng sawit curah bagi seluruh rakyat Indonesia, memperoleh bahan baku yang berasal dari keberadaan DMO.

Kericuhan politik dalam negeri sedikit mereda ketika harga pasar secara bertahap sudah dapat diturunkan melalui instrumen tsb dan Zulhas yang baru diangkat menjadi Mendag membuat gebrakan dengan meluncurkan minyak goreng curah kemasan dengan harga terjangkau sebesar Rp14.000 (HET) per liter, sebagaimana diamanatkan Presiden.

Minyak goreng kemasan rakyat dengan merk Minyakita diluncurkan awal Juli lalu di kantor Kemendag. Hingga awal September 2022 tercatat sudah 10 produsen yang telah menyalurkan Minyak Goreng Kemasan Rakyat (MGKR) ke 29 provinsi dengan total 90.346,60 ton.

9 produsen tersebut yakni PT Batara Elok Semesta Terpadu, PT Mahesi Agri Karya, PT Primus Sanus Cooking Oil Industrial, PT Permata Hijau Sawit, PT SMART Tbk (SMAR), PT Wilmar Cahaya Indonesia, PT Bina Karya Prima, PT Tanjung Sarana Lestari dan PT Panca Nabati Prakarsa. Adapun, 1 produsen tak tercantum namanya dalam catatan kementerian.

Minyak goreng kelas premum Tropical yang sulit beringsut turun. Foto : Parlin Pakpahan.
Minyak goreng kelas premum Tropical yang sulit beringsut turun. Foto : Parlin Pakpahan.

Kini melimpahnya stok minyak sawit nasional, berdampak langsung terhadap turunnya pembelian pedagang kepada produsen CPO yang berasal dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang berada di perkebunan kelapa sawit. Ini kemudian memicu turunnya permintaan PKS terhadap pembelian hasil Tandan Buah Segar (TBS) yang berasal dari petani kelapa sawit.

Setelah kenaikan BBM belum lama ini, lagi-lagi yang disoal adalah beratnya beban subsidi pemerintah untuk BBM sekarang, apalagi perang Ukraina vs Rusia tetap berkecamuk yang memicu kenaikan harga BBM dunia, utamanya setelah Rusia membalas boikot keuangan blok barat dan membalas harga batas BBM yang ditetapkan sepihak oleh UE. Rusia hanya mau dibayar Rubbel atau Yuan, pokoknya non-Dollar, dengan batas harga yang ditetapkan Rusia dan bukan oleh siapapun.

Perekonomian dunia pun memanas dan Indonesia tak luput menyasar pertikaian di mandala Eropa sebagai pemicu kekacauan ekonomi dunia termasuk ekonomi Indonesia, sehingga pemerintah terpaksa mencabut sebagian subidi BBM itu yang memicu demo massal dimana-mana.

Di tengah hebring para pengusaha minyak dunia, di komunitas sawit Indonesia justeru kebalikannya. Disini muncul lagi hukum karet ekonomi terkait penawaran dan permintaan yang tak dapat mereka mengerti.

Ketika pasokan produk berlimpah dan permintaan pasar turun, maka itu akan berdampak langsung terhadap harga produk, sehingga harga jual produk ikut mengalami penurunan. Akibatnya, harga jual TBS yang dihasilkan petani kelapa sawit mengalami penurunan harga jual yang drastis.

Ini barangkali yang sekarang perlu disubsidi pemerintah. Jangan sampai pengusaha minyak goreng dan macam-macam olahan dari CPO untung setinggi gunung. Sebaliknya para petani sawit menjadi buntung.

Kembali ke MinyaKita sebagai salah satu penghadang kenaikan inflasi kita yang mulai merangkak sekarang sejak kenaikan BBM belum lama ini.

Meski sudah digelontorkan sejak Juli lalu, kesan di lapangan pendistribusiannya ternyata masih belum optimal. Pada kenyataannya masih banyak produsen yang baru mulai investasi untuk MinyaKita dengan penawaran domestic market obligation (DMO) sebesar 1,5 kali.

Untuk kebutuhan nasional, produksi minyak goreng harus dikonversi kurang lebih sekitar 327 juta liter per bulan. Sementara selama ini 125 juta liter dari nilai tsb dipasok oleh minyak goreng premium dan lainnya dalam bentuk curah (202 juta liter).

Untuk itu, dengan memberikan tawaran DMO untuk menarik investasi, diharapkan 202 juta liter dapat terkonversi menjadi minyak kemasan, salah satunya MinyaKita.

Keberhasilan MinyaKita sudah di depan mata, tapi matarantai logistik tidaklah mulus sebagaimana yang dibayangkan. Kalau kita jalan ke retailer medium seperti Indomaret dan Alfamaret, kita akan sulit menemui MinyaKita.

Sementara minyak goreng premium tetap melimpah seperti Bimoli kemasan 1 liter Rp21.500 dan kemasan 2 liter Rp46.400; Tropical kemasan 1 liter dengan harga promosi Rp 36.900 dari harga Rp39.900; Filma kemasan 2 liter dengan harga promosi Rp35.900 dari harga Rp47.100. Praktis hanya minyak goreng Camar yang kelas premium itu terlihat mendekati HET yakni Rp14.900 per liter, tapi itupun harga promosi dari Rp22.200.

Ketiadaan MinyaKita di retailer-retailer medium ini tidak hanya di kota Malang, tapi juga di Depok, Bekasi dan Tangerang. Anehnya, ketiganya justru dekat ke pusat kekuasaan dan perdagangan Jakarta.

Dalam konteks nasional, kita lihat dari info perdagangan terbaru dari bisnis.com, harga minyak goreng curah kemasan merek MinyaKita di Kendari, Sulawesi Tenggara, terpantau berada di level tertinggi yaitu Rp16.500 per liter atau melebihi harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000 per liter.

Mengacu pada data early warning system (EWS) Kemendag, per Senin 12 Sept' ybl, sebenarnya harga MinyaKita mayoritas telah sesuai bahkan di bawah HET, tapi angka berbeda terlihat di wilayah Sulawesi.

Dari enam propinsi di Sulawesi, hanya Sulawesi Tengah yang memiliki harga MinyaKita di bawah HET, yakni Rp13.667 per liter. Sementara propinsi lainnya yaitu di Sulawesi Selatan harganya Rp14.167 per liter, Sulawesi Utara Rp14.500 per liter, dan tertinggi di Sulawesi Tenggara atau Kendari Rp16.500 per liter, sedangkan Sulawesi Barat belum ada harga yang tertera.

Di kota Malang harga MinyaKita sudah sesuai acuan HET, Rp14.000 per liter. Yang disesalkan, untuk mendapatkan MinyaKita itu sulit lantara MinyaKita hanya ada di titik-titik tertentu yang tak banyak seperti minimart milik pondok pesantren tertentu seperti Bahrul Maghfiroh di Lowokwaru, padahal di samping retailer medium seperti Indomaret dan Alfamart, di kota Malang misalnya cukup banyak terdapat grosiran-grosiran lokal. Mengapa di grosiran semacam ini tidak ada MinyaKita.

Sedangkan retailer-retailer medium apalagi yang besar terkesan kuat sepertinya mengharamkan untuk menjual MinyaKita, meski sudah tahu minyak curah rakyat itu sudah diupdate pembuatannya. Kemasannya sudah pantas, juga sudah memakai stiker Halal Indonesia, termasuk info tentang kandungan MinyaKita seperti energi, lemak, karbohidrat dll, dan di atas segalanya sudah ada izin dari BPOM.

Hanya minyak goreng kelas premium Camar yang bersedia beringsut turun. Itupun harga promosi. Foto : Parlin Pakpahan.
Hanya minyak goreng kelas premium Camar yang bersedia beringsut turun. Itupun harga promosi. Foto : Parlin Pakpahan.

Kemasan MinyaKita tak kalah dengan kemasan minyak goreng premium yang justeru kelewat banyak pernak-perniknya. Dan gincu tebal kelas premium itu harganya pernah dipatok gila-gilaan, meski kemudian atas nama promosi diturunkan menjadi Rp21.000 atau Rp24.000 per liter. Tapi mereka takkan pernah bisa sampai ke harga HET.

Akhirnya ini semua berpulang kepada pemerintah pusat untuk dapat memotivasi bakal produsen yang mau berinvestasi menjadi produsen minyak goreng rakyat dan serius dalam memproduksi MinyaKita. Dan di atas segalanya pemerintah tentu harus sigap menegur pemda di seantero Indonesia agar serius mensukseskan program MinyaKita. Mereka kan punya data bagaimana mendistribusikan MinyaKita di wilayahnya dan mempunyai aparat pelaksana yang seharusnya mampu memantau apakah retailer-retailer medium sudah mematuhi ketentuan pemerintah atau mereka lebih memilih menghantam rakyat agar tetap mengkonsumsi minyak goreng kelas premium yang tak pernah mau beringsut banyak dari harga jual tertingginya itu.

Kalau matarantai logistik ini tak segera diperbaiki apalagi membiarkan banyak pemda yang "mbulet" dan masa bodoh dengan ancaman inflasi terhadap perekenomian kita, maka ini jelas akan memicu inflasi nasional kita, meski MinyaKita telah di depan hidung wong cilik.

Minyak goreng kelas premium Bimoli dengan harga yang sulit beringsut turun. Foto : Parlin Pakpahan.
Minyak goreng kelas premium Bimoli dengan harga yang sulit beringsut turun. Foto : Parlin Pakpahan.

Joyogrand, Malang, Wed', Sept' 14, 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun