Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politika Now: Calo Tiket Menuju Pemilu 2024

28 Juli 2022   16:02 Diperbarui: 28 Juli 2022   16:08 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menuju Pemilu 2024. Foto : kabar24.bisnis.com

Politika Now : Calo Tiket Menuju Pemilu 2024

Menyongsong tahun Pemilu 2024 yad adalah wajar kalau dunia "parmonsakan politik" atau kangouw politik atau persilatan politik pada medio 2022 ini semakin ramai nggak di media sosial nggak di media elektronik seperti adu cuap di berbagai media TV, bahkan ada yang sudah sampai nge-metal pake teriak-teriak segala untuk menangan.

Salah satu yang menghibur dalam geliat bahkan gemuruh politik sekarang adalah Fahri Hamzah. Anak NTB yang adalah mantan aktivis 1998/1999 ini seangkatan dengan Adian Napitupulu, Budiman Soedjatmiko dan Fadli Zon. 

Fahri menurut kacamata saya adalah seorang nasionalis yang berwawasan luas dan menomorsatukan kekuatan intelektual dan bukan menomorsatukan lidah penjilat atau duit dalam berpolitik. Tak heran dia keluar dari PKS yang menurutnya parpol konservatif tak jelas bahkan munafik. Dan diapun mendirikan Parpol baru yang bernama gagah yi Gelora.

Dalam tayangan media NTB ketika pulkam beberapa waktu lalu, Fahri terlihat tampil prima dalam mengemukakan pandangannya tentang apa dan bagaimana itu kekuatan intelektual dalam berpolitik dan apa saja kekurangan yang harus diperbaiki dalam sistem politik kita.

Saya cermati cukup menarik, menuju pemilu 2024 yad detik.com 27 Juli ybl merelease pendapat Fahri : "Problem partai politik adalah ...... nggak punya calon karena dia membuat syarat bagi dirinya supaya nggak bisa nyalonkan ... ini dasarnya duit, nggak punya uang untuk memenangkan legislatif ini masalahnya, nggak mau bikin calon sendiri, itu karena pengen jualan tiket kepada orang yang punya uang, karena nggak tahu cara menyelesaikan bagaimana biaya legislatif harus dibiayai. 

Jadi mereka terpaksa menaikkan presidensial threshold supaya dia tidak bisa mencalonkan (kader) dirinya. Yang dia calonkan orang lain dan tiket ini dijual untuk biaya kampanye."

Sampai disini semuanya memang logis dan yang dilihat Fahri adalah kausalitas dalam sistem pemilu kita. Sistem artinya komponen-komponen yang saling bergantungan dan apabila satu komponen nggak berfungsi maka sistem itu nggak jalan. 

Kalaupun seakan jalan, maka politisi seperti Fahri akan dapat melihatnya dengan benderang tapi tentu melalui satu lobang intip saja, sedangkan lobang-lobang intip dimaksud jauh lebih banyak lagi. 

Misalnya Ketum Nasdem Surya Paloh baru saja kemarin mengatakan lebih baik tak usah pemilu jika berujung perpecahan. Paloh dalam bahasa lain mempertanyakan apakah negara mampu menyelenggarakan pemilu yang jujur, adil, tepat waktu dan benar-benar menjaga hak konstitusional rakyat pada 2024 nanti. 

Ia ingin mengajak semua pihak untuk melakukan perubahan menjelang Pemilu 2024. Yang terpenting, meski hanya tersirat, berhentilah melakukan politik identitas. Dan sepertinya Paloh menggandeng Anies sebagai salah satu capres unggulannya agar tak digebyah-gebyah lagi sebagai Bapak Politik Identitas.

Namanya saja pokrol bambu bersayap, maka tabuhan Paloh turut meramaikan jagad politik kitorang. PDIP via Hasto pun menanggapi ketus : jangan remehkan rakyat. Kita memilih sistem demokrasi Pancasila, karena sudah teruji. Mengapa harus ragu.

Untuk mudahnya, sebaiknya kita kembali ke tiket politik. Jangan sampai gemuruh politik di medio 2022 ini bikin pusing kitorang. Benarkah tiket itu bakal sold-out di penghujung atau detik-detik terakhir pencalonan. 

Pemilihan capres dan cawapres akan dilakukan oleh parpol. Menurut Fahri, capres terpilih itu memiliki popularitas dan cawapres terpilih itu mampu membayar.

Singkatnya ada dua otoritas, yang pertama otoritas populer yi para calon yang dianggap populer melebihi para politisi dan kader-kader partai, dan yang kedua adalah para pembiaya.

 Para pembiaya atau penyandang dana ini dipastikan oligarki bisnis dan para jenderal dan birokrat pensiunan yang berdompet gendut yang berkepentingan terhadap exercise of power dalam rangka pengamanan dan pelestarian kepentingan mereka.

Kalau dilihat pernyataan Hasto PDIP yang belum lama ini mengecam keterburuan parpol-parpol untuk berkoalisi dan pencapresan. Hasto mensuggest bagaimana kalau kita membantu rakyat terlebih dahulu. Mereka masih sempoyongan karena terjangan pandemi sepanjang dua setengah tahun terakhir ini. 

Tapi Hasto adalah Hasto yang adalah PDIP yang tak perlu repot-repot harus berkasak-kusuk untuk berkoalisi dengan parpol lain untuk dan demi pencapresan ntah siapapun itu. PDIP sudah pegang presidensial threshold 20%. Pokoknya tinggal tunggu Ibu Ketum Megawati buka suara dan ketok palu kapan menggelindingkan capres. Beres sudah.

Yang lainnya? Karena tak mencapai presidential threshold sebagaimana ditentukan, apa boleh buat, mereka memang harus berkasak-kusuk untuk berkoalisi yang bukan koalisi-koalisian. 

Maka muncullah KIB atau Koalisi Indonesia Bersatu dengan penumpang PPP, Golkar dan PAN. Lalu yang terbaru Gerindra dan PKB yang berkoalisi dalam KIR atau Koalisi Indonesia Raya.

Sampai sejauh ini kedua perahu koalisi itu belum menentukan capres, termasuk PDIP juga belum, meski sudah lama digunjingkan Puan-lah puteri mahkota itu. Dan itulah yang diwanti-wanti Fahri sebagai akan dimunculkan pada detik-detik terakhir pencalonan capres dan cawapres  sesuai jadwal Pilpres yang sudah diijir KPU.

Kunci untuk semuanya ini memang popularitas atau elektabilitas calon ybs. Puan misalnya, meski puteri mahkota PDIP, tapi dari berbagai poling, sepertinya Puan tidak electable. Berbeda dengan Ganjar yang elektabilitasnya tinggi, juga Anies yang sudah beberapa kali diuji di lapangan.

Presidential threshold atau ambang batas capres selalu menjadi perdebatan tiap menjelang pemilu. Parpol-parpol kerap bersitegang soal angka paling rasional untuk bisa mencalonkan presiden. 

Ada yang menginginkan presidential threshold diperbesar agar sistem presidensial kita kuat, tapi ada yang sebaliknya bahkan menginginkan presidential threshold itu dihapus saja dan dibiarkan 0%, agar semua kader bangsa yang populer dapat nyapres.

Perdebatan tentang itu tak kunjung usai dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tetap mengatur presidential threshold itu sebesar 20 persen. Itu artinya Pilpres 2024 yad, kita akan tetap berpegangan pada angka 20%.

Dilihat dari perkembangan sepanjang pemilu 2004, pemilu 2009, pemilu 2014 dan pemilu 2019, tercatat hanya pada pada pemilu 2004 saja angka presidential threshold itu 15% dari jumlah raihan kursi di parlemen atau 20% dari raihan suara secara nasional. Itu kemudian diubah untuk pemilu 2009 dengan angka 20% dan ajeg sampai sekarang. 

Artinya sepanjang 3 pemilu terakhir ini kita sudah mencapai kesepakatan nasional. Keberagaman masyarakat kita sudah dianggap terwakili dalam diri 9 parpol yang tetap eksis hingga kini, yi PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, Demokrat, PKB, PAN, PKS dan PPP.

Dalam praktek sepanjang 3 periode terakhir ini kita sudah yakin sekali dengan multi partai bermuatan 5-9 parpol saja. Kalau ingin sistem presidensialnya kuat ya rekrut kader terbaik parpol outsider sebagai rekan koalisi di pemerintahan. Kalau mau ramai dan dimacet-macetkan di parlemen, ya lakukan pembiaran di parlemen. Yang penting gue pemutus bagaimanapun macetnya di parlemen, karena gue adalah the ruling party.

Kalaupun Fahri berpendapat lain soal tiket.com dalam perpolitikan kita sekarang, maka tentu kita tidak bisa mencontoh mentah-mentah begitu saja rute pencapresan asing, katakanlah model konvensi seperti di AS. Kalaupun kita copy tapi tentu harus dimodif. 

Misalnya soal dapil penentu dimana capres ybs diuji coba. Katakanlah di dapil Jabodetabek dan Jabar atau Jatim, karena memang voter disitu cukup padat merayap. Bisa yang berkonvensi disitu hanya seorang aktivis buruh, bisa seorang seniman, bisa seorang tukang kerupuk, bisa seorang tukang martabak meski bukan markobar, bisa seorang pendeta atau ustadz yang telah tobat pengen berduniawi saja dst. Ini nggak perlu threshold-threshold-an segala.

Masalahnya kita harus membongkar dan menyempurnakan undang-undang yang ada dan berlaku sekarang. Dan kalau dilihat dari karakter keberagaman kita yang memang luarbiasa itu. 

Sepertinya kalau kita memaksa diri untuk menentukan rute yang harus dilalui capres-capres kita seperti itu, maka tanpa threshold, penyakit multi partai over dosis akan berulang lagi sebagaimana awal reformasi. Politik main kayu bahkan transaksional akan menjadi-jadi bahkan lebih gila lagi.

Rute pencapresan sekarang saya yakin sudah benar dan hanya perlu disesuaikan dengan dinamika zaman. Itu akan terjawab dalam perjalanan waktu yang terus melaju. Tiket.com ala Indonesia temporer sekarang memang harus kita hadang. Penghadang dimaksud siapa lagi kalau bukan kaum idealis bahkan pemimpi seperti Adian, Fahri, Budiman Sudjatmiko dst. Karena melalui para pemimpi, para pembuat opini independen dan dukungan mayoritas rakyat yang idealislah politik transaksional di negeri ini bisa dihabisi.

Kalaupun memang sampai detik terakhir sang capres dan cawapres itu baru digelontorkan. Itu tak terlalu prinsip. Yang penting, calon yang electable-lah yang maju. Itu bisa siapa saja, mau tukang krupuk keq, mau tulang bakso keq, mau ustadz dan pendeta keq dst. 

Sedangkan dana kan bisa dari kegotongroyongan kita sendiri sebagaimana kita sekarang ini sedang bergotongroyong untuk menuntaskan kasus Brigadir J. 

Pendeknya, jangan pernah remehkan asas gotongroyong yang positif seperti itu, karena gotongroyong adalah legacy leluhur kita yang harus dijaga kemurniannya. Menyimpang dari kemurnian itu, maka jadilah dia transaksional.

Maka bisikin Mega jangan Puan; bisikin juga Paloh, jangan Anies; bisikin Wowok jangan lo lagi lo lagi. Hayyoo ..

Samanea Hill, Bogor Barat, Thu', July 28, 2022.

Jalan terjal menuju pemilu 2024. Foto : rumahpemilu.org
Jalan terjal menuju pemilu 2024. Foto : rumahpemilu.org

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun