Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jurus Monsak Menabur Umpan Menuju Pemilu 2024 Baru Saja Diperagakan Nasdem

18 Juni 2022   19:01 Diperbarui: 18 Juni 2022   19:02 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marmonsak ala Jawa. Foto : fajarnusantara.com

Sampai disini kita hanya dapat mempelototi angka elektabilitas capres dan jurus-jurus monsak yang sesungguhnya gampang saja dibaca Tapi sedikitpun tak ada news tentang bagaimana konkretnya para capres dimaksud membawa negeri ini dengan segala permasalahannya menuju Indonesia yang dicita-citakan. Juga bagaimana para dinasti menggelontorkan jagonya kalau memang tidak electable. Maklumlah lembaga polling sudah cukup banyak di negeri ini. Direkturnya rata-rata tamatan terbaik dari almamaternya masing-masing, ntah itu di luar negeri atau di dalam negeri. Mbok ya kalau elektabilitasnya tetap saja recehan, mengapa nggak digeser langsung ke calon yang electable. Haduhh Puan dan AHY.

Kembali ke literasi, katakanlah Daniel Bell dalam The End of Ideology. Ia sudah lama mengingatkan bahwa ideologi politik dalam demokrasi ntah itu social Marxism, neo konservatif atau neo liberal. Itu sudah lelah. Boro-boro mau dibawa ke ideologi kuno atas nama agama yang secara historis adalah monster dan penghasut. Biarlah itu tinggal dalam diri kita saja dan tidak lagi di ruang publik. Ideologi apapun yang kita pertikaikan selama ini sudah berakhir, karena sudah menyeret kita jauh pada kelelahan utopis. Kita perlu menata ulang dan memastikan integrasi sosial dengan perintah birokrasi, teknologi yang dapat menjauhkan kita dari konflik politik, barang-barang konsumsi bagus yang memuaskan yang dapat memicu kita untuk melakukan transformasi personal.

Bell melihat Amerika secara sosiologis pada dekade 1950 dan 1960, dimana para pekerja terlihat seperti sosok Ixion dalam mitologi Junani. Mereka seakan makhluk kebal yang dapat dirantai begitu saja pada roda yang berputar tiada henti. Sementara hasilnya adalah kelelahan psikologis tiada tara dengan hasil minim. Konflik ideologis untuk kesengsaraan anak manusia seperti ini sudah cukup. Kita harus mengakhirinya kata Bell dalam menutup The End Of Ideology.

Jkw sudah memulainya memang, tapi itu baru langkah kecil dan itupun masih banyak diganggu. Apalagi kalau para pengganggu lebih memilih filosofi politik Francis Fukuyama dalam The End of History And The Last Man, dimana dikatakan bahwa dengan berakhirnya cold war dan bubarnya Soviet, sistem demokrasi liberal sekarang adalah akhir dari perjalanan sejarah manusia. Sistem demokrasi yang kita anut sekarang adalah hasil dari evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal barat sebagai bentuk akhir dari pemerintahan manusia. Tapi sayangnya kita kurang memaknai apa yang dimaksud Fukuyama. Kita berdemokrasi memang tapi kebablasan melulu, sampai cebokpun harus diseolahkan demokrasi. Keblinger kata Bung Karno.

So what? Ya, berpolitik itu memang seharusnya dimaknai sebagai kerja keras intelektual. Kalau zaman ideologi sudah berakhir, mengapa kita harus sibuk dengan segala macam neo-lib-lah, dengan komunis-lah, dengan mundur jauh ke belakang dengan memfatwakan segala hal-lah; mengapa kita tidak sibuk dengan reformasi parlemen dan birokrasi habis-habisan, mengapa kita tidak membuat presidential  threshold 30% saja, agar jumlah capres kita tak seperti antrian BLT, malah para poliyo kita berhalusinasi Fukuyama lagi dengan menawarkan alternatif threshold 0%, agar semua warga dapat mencapreskan diri. Haduhh ..

Pengganti Jkw dalam Pemilu 2024 saya pikir tak cukup hanya Ganjar yang hanya bisa berhalusinasi Fukuyama atau Wowok yang selalu menyanyikan Old Soldier Never Die. Bosen. Dan Anies yang hanya bisa berpantun memelintir kata tanpa perlu harus ada praxis.

Apa boleh buat jurus monsak masih perlu memang untuk menyerahkan tongkat estafet dari Jkw ke tangan yang tepat yang betul-betul Intelektual berat. Siapa itu? Tanya Jkw dan jangan tanya Mega apalagi Wowok atau Anies. Ok.

Joyogrand, Malang, Sat', June 18, 2022.

Marmonsak ala Melayu. Foto : viva.co.id
Marmonsak ala Melayu. Foto : viva.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun