Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan Tekad APDESI untuk Penundaan Pemilu 2024

3 April 2022   15:25 Diperbarui: 3 April 2022   22:34 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi dan Tekad Apdesi Untuk Penundaan Pemilu 2024

Pengerahan para kades atau kepala desa seluruh Indonesia belum lama ini di penghujung Maret lalu untuk kepentingan politik terus mendapat sorotan masyarakat.

Para kades yang tergabung dalam APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) tgl 29 Maret ybl berkumpul di Jakarta untuk membahas inovasi ke depan pembangunan desa di Indonesia.

Sejumlah spanduk dukungan untuk Presiden Joko Widodo terlihat dipasang di acara Silahturahmi Nasional Desa oleh APDESI, di Istora Senayan, Jakarta. Kegiatan ini disebut dihadiri oleh 15.000 kades se-Indonesia dan diikuti langsung oleh Jokowi.

Ada dua spanduk yang dipasang di dinding luar Istora. Salah satunya spanduk berwarna merah dengan tulisan "Jokowi : Bapak Pembangunan Desa Indonesia".

Spanduk lainnya berwarna hijau dan berbunyi "Kepala Desa se-Indonesia Setia Bersama Presiden Ir. Joko Widodo". Kedua spanduk terpampang jelas karena berukuran besar dan bisa dilihat dari luar gedung Istora.

Thema yang diangkat adalah desa bersatu membangun Indonesia.

Sejumlah menteri juga hadir dalam pertemuan akbar itu, mulai dari Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Menkeu Sri Mulyani, Waka DPR RI, Ketum PKB Cak Imin (Muhaimin Iskandar) dll.

Kades adalah ujung tombak atau pemerintahan terdepan dalam sistem ketatanegaraan kita yang bisa menjabat 3 periode. Ketentuan ini diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Masa jabatan kades untuk setiap periode ditetapkan 6 tahun. Sehingga, seorang kades bisa menjabat hingga 18 tahun lamanya. Nyaris sama dengan masa jabatan Presiden Perancis. Yang berbeda hanya periodenya saja. Kalau Presiden Perancis diizinkan konstitusi untuk menjabat 2 periode dengan masing-masing periode 7-8 tahun.

Pertemuan akbar ini tak pelak lagi menjadi sorotan utama masyarakat. Yang lucu di tengah pertemuan ada seorang kepala desa yang menyela agar gaji kades diberikan bulanan saja. Jangan dirapel 3 bulanan. Jokowi yang tidak paham betul masalah ini baru mengangguk ketika dijelaskan. Iapun langsung memerintahkan Mendagri Tito Karnavian untuk mengubahnya menjadi gaji bulanan.

Di sela pertemuan akbar itu, ada sejumlah kades yang sempat meneriakkan yel Jokowi 3 periode, bahkan tadinya sudah disiapkan pernyataan kebulatan tekad kades  se-Indonesia agar Jokowi menjabat 3 periode, Tapi menurut Surtawajiya Ketum Apdesi, kami dilarang membacakan pernyataan itu. Mulai dari paspampres dan itu tuh Pak Luhut melarangnya, kata Surta kepada pers. Kemungkinan besar kami akan menyatakan dukungan untuk 3 periode Jokowi ini sehabis lebaran yad, tambah Surta.

Kembali kepada insan desa yang lagi gathering di Istora Senayan itu. Saya yakin gaji kepala desa yang katanya Rp 3,2 juta per bulan tentu adalah sebuah kemajuan yang tak bisa dipungkiri di era reformasi. 

Di zaman Soeharto, kepala desa tak bergaji. Ia adalah pimpinan otonom tingkat desa yang dipilih langsung oleh warga desa. Pemerintah hanya memberi semacam stimulans dari dana Inpres Bantuan Langsung. Untuk desa tertinggal disebut IDT atau Inpres Bantuan Langsung Desa Tertinggal. Yang sedikit wah adalah pemerintahan desa se-pulau Jawa, karena sudah sejak zaman Belanda mereka ada tambahan penghasilan dari tanah bengkok desa untuk kepala desa dan perangkat desa. Di era kemerdekaan yang bergaji karena memang PNS adalah Lurah dan jajarannya di pemerintahan kelurahan sesuai ketentuan yang berlaku.

Gaji kades yang bukan PNS itu tentu bukan dari anggaran rutin, melainkan dari dana yang dialokasikan pusat di APBD masing-masing daerah sebagai belanja pembangunan. Stelsel kepangkatan dan kenaikan gaji secara berkala sebagaimana PNS tentu tak ada disini. Tapi sekali lagi, itu tetaplah sebuah kemajuan dalam ketatanegaraan kita.

Isu penundaan Pemilu 2024 pasca pertemuan akbar itu terkesan kuat semakin bergulir liar di ruang publik dan beroktan tinggi. Kita lihat para analist, pengamat politik, mahasiswa dan dunia kampus mendiskusikannya dalam dialog panas di media TV. Tak ketinggalan para netizen, buzzers dan publik nasional di berbagai medsos, utamanya YouTube dan FB Watch.

Salah satu yang disorot dalam pertemuan akbar kemarin adalah soal dana penyelenggaraan acara tersebut. Sejumlah pengamat mengatakan dana penyelenggaraan itu pastilah sangat besar jika dilihat dari jumlah kades yang hadir yaitu 15.000 orang. Tapi mungkinkah kades dimaksud hanya datang seorang diri. Oh no, pasti lebih, orang daerah apalagi dari pedesaan tidak seperti itu, kilah sejumlah pengamat.

Katakanlah untuk setiap yang hadir dibiayai akomodasinya minimal Rp 10 juta. Kalau 15.000 kades, itu akan memakan anggaran sebesar Rp 150 milyar. Kalau maksimal Rp 20 juta per kades, itu akan memakan anggaran sebesar Rp 300 milyar.  Bagaimana kalau yang dihadirkan harus 80.000 orang sesuai jumlah desa yang ada sekarang yi 81.616 desa, karena pemekaran dan segala macam. Anggaran yang dikeluarkan pastilah fantastis yaitu Rp 1,6 trilyun untuk 80.000 kades dengan asumsi para kades tidak datang sendiri.

Dari mana dana menggiurkan itu. Tidaklah mungkin Jokowi mengeluarkan dana sebesar itu hanya dari saku pribadinya. Jangan-jangan Cak Imin berperan penting, termasuk dana, sebab dialah yang pertama kali menyuarakan Jokowi 3 periode. Menteri Desanya pemerintahan Jokowi pun dari PKB. Boleh jadi ada dana yang mengalir dari partai PKB dan oligarki politik yang mendukung berat gagasan itu. Tidak mungkin kalau dikorek dari APBN. Atau memang ada dana khusus yang dialokasikan secara hidden untuk acara ini.

Juga yang jadi sorotan adalah sejumlah tokoh besar yang hadir pada acara tersebut. Salah satunya adalah Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang dalam hal ini adalah Ketua Dewan Pembina Apdesi. Dipastikan Pak Luhut punya kepentingan, ujar beberapa pengamat.

Tak lama sesudah itu, persisnya 1 April 2022, gerakan perkampusan yang menamakan dirinya Aliansi Mahasiswa Indonesia melakukan aksi demo di Jakarta. Setelah mengecam tekad kades se-Indonesia yang ingin Jokowi 3 periode itu, mereka pun ramai berorasi dan mengancam gerakan mahasiswa untuk penolakan 3 periode Jokowi akan semakin keras dan massif apabila gagasan yang bertentangan dengan aturan konstitusi ini dilanjutkan atau dipaksakan dengan berbagai cara.

Katakanlah gagasan ini dalam sistem demokrasi sah-sah saja dan masih ada cukup waktu untuk mewujudkannya beberapa saat menjelang jabatan Presiden Joko Widodo berakhir pada 2024. Tapi untuk mewujudkannya tentu tak semudah membalik telapak tangan. Mungkin bisa saja dengan melihat koalisi yang ada di pemerintahan sekarang, semuanya bisa disetting di parlemen, sehingga meski 2 besar yaitu PDIP dan Golkar tidak menyetujuinya, inisiatif DPR untuk mengamandemen UUD 1945 dapat dilakukan.

Tapi kalau gerakan penentang semakin massif apalagi bila diujungtombaki mahasiswa dan elemen-elemen radikal seperti Front Persaudaraan Islam yang adalah reinkarnasi alm FPI plus ormas-ormas baru yang tiba-tiba muncul sebagaimana kultur politik jalanan kita yang hidup dari para sponsor, maka tentu keinginan itu harus dibuktikan melalui referendum nasional, dimana sekurangnya 2/3 atau 183,500.000 dari rakyat Indonesia yang kini 275.000.000 itu harus menentukan perlukah jabatan presiden sampai 3 periode. 

Ini tentu sangat mahal dengan segala risiko dalam pelaksanaannya di lapangan. Kalaupun teramandemen nanti, ini juga akan merepotkan dalam menyusun kalimat sakti di bagian penjelasannya. Bagaimana kita dapat menjelaskannya bahwa amandemen itu memang vital bagi kelangsungan demokrasi di negeri ini. 

Belum lagi perubahan UU Pemilu, ntah threshold-lah atau menyelipkan semacam konvensi sebagaimana di AS misalnya, sehingga rute untuk capres itu jelas di seluruh bagian Indonesia dan pemimpin yang muncul nanti adalah betul-betul pilihan rakyat yang kemudian dipertarungkan dalam pilpres, termasuk disini Jokowi yang katakanlah maju lagi sebagai capres untuk periode ketiga yang telah diizinkan konstitusi yang telah diamandemen dan UU organik yang mengikutinya.

Jokowi dalam berbagai kesempatan - sejak isu ini bergulir beberapa bulan yang lalu -- telah berkata sesimpel mungkin bahwa ia hanya taat pada konstitusi. Lalu dalam bahasa yang halus dan n'jawani Jokowi mengatakan tidaklah mungkin baginya untuk menghalangi wacana semacam ini dalam sistem demokrasi kita. Orang bebas berpendapat sejauh dapat dipertanggungjawabkan, termasuk di dunia politik. Kata-kata bersayap semacam ini wajar keluar dari seorang presiden yang bervisi demokratis.

Jokowi dan kita semua tahu betapa masa jabatan presiden itu dibatasi hanya 2 periode saja karena trauma politik orba, dimana kita pernah di bawah sepatu lars Soeharto selama 32 tahun, dimana ABRI yang sekarang adalah TNI menjalankan dwi fungsi ya militer ya parpol terbungkus baju militer. KKN pun merajalela,  Yang menyedihkan TNI kita tak lagi professional karena lebih banyak berpolitik ketimbang latihan militer untuk bela negara dst. Pendek kata ada surplus of power di tangan regime yang semakin membusuk dan represif. Lepasnya Timor Timur pada 1999, disusul chaos nasional jelang tumbangnya regime orba. Itulah pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa ini.

Saya pikir boleh jadi penggelindingan wacana 3 periode bukanlah datang dari diri pribadi seorang Jokowi. Ini pastilah dari oligarki kita. Misalnya proyek IKN di Kalimantan yang dibudget sebesar Rp 466 trilyun. Ini sangat menggiurkan tentu. Masih di atas kertas saja sudah banyak semut nasional yang mengerubunginya. 

Sekalipun bakal investor pertama yaitu Softbank dari Jepang sudah mundur ntah karena apa, Luhut belum lama ini menegaskan bahwa investor baru sudah bermunculan seperti Arab Saudi dan Abu Dhabi yang akan bekerjasama dengan China. Crowdfunding pun sudah ditawarkan kepada masyarakat.

Bagaimanapun, semuanya tetaplah baru di atas kertas dan kita pun tidak tahu persis siapa saja oligarki dimaksud disini Yang bisa kita pastikan bahwa capres yad yang sudah digadang-gadang sejak kemarin ntah itu Puan Maharani dari trah Soekarno, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, bahkan Prabowo Soebianto. 

Semuanya masih jauh dari selera oligarki yang menginginkan tipe kalem tak menyakiti tapi punya determinasi seperti Jokowi. Ya mereka ingin figur seperti ini tapi tak juga kunjung muncul, maka menggelindinglah wacana ini agar kepentingan mereka dalam pekerjaan IKN dll akan aman dan damai.

Bagaimanapun itu, seraya melupakan sejenak krisis  Ukraina yang bakalan mengubah geopolitik dunia ini, tetaplah kita pegang kata-kata bersayap Jokowi seraya juga memegang kata-kata kelompok penekan bahwa keduanya haruslah taat pada suara rakyat.

Joyogrand, Malang, Sun', Apr' 03, 2022.

Jokowi dalam pertemuan akbar Kades se-Indonesia di Istora Senayan, Jakarta. Foto : voi.id
Jokowi dalam pertemuan akbar Kades se-Indonesia di Istora Senayan, Jakarta. Foto : voi.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun