Mohon tunggu...
Paris Ohoiwirin
Paris Ohoiwirin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyelesaikan pendidikan terakhir di sekolah tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara. Gemar membaca dan menulis tema-tema sastra, sejarah dan filosofis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tenggelamnya Kapal Megabahari

27 Januari 2023   20:36 Diperbarui: 27 Januari 2023   20:50 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pak, ada peringatan bahaya dari depan!" Suara itu datang tiba-tiba, membangunkan kapten Sulistyo malam itu. Ia segera meraih remote komandonya, membenarkan topi kaptennya dan segera bergegas memasuki anjungan kapal.

Suasana panik sedang melanda anjungan. Wajah-wajah para kelasi sedang menegang. Beberapa sibuk memegang teropong.

"Ada apa ini?" tanya kapten Sulistyo ikutan panik.

"Maaf pak, sebuah pulau karang besar menghadang kita," balas salah satu kelasi.

"Bagaimana itu terjadi? Sudah berbelok?"

"Sia-sia, hantaman akan terjadi dalam sepuluh detik ini!"

Kapten Sulistyo hanya terdiam, Ia sadar, tidak mungkin mengadakan debat dalam keadaan seperti ini.

"Kalau begitu mundur dengan kecepatan penuh!" perintah kapten Sulisyto.

"Baik, mundur dengan kecepatan penuh!"

Setelah memberikan perintah, kapten Sulistyo segera berlari ke tepian anjungan, mengamati pergerakan kapal. Tampaknya kapal tidak segera mundur. Sementara pulau karang yang menghadang kian dekat.

"Dhummmmm !!!!!! boooommzzzzrrrr!!!!!!... guncagan yang hebat itu akhirnya terjadi juga. Getaran itu dirasakan sampai ke sela-sela jari kapten Sulistyo yang menggenggam erat remote komandonya. Wajahnya berubah pucat pasi.

"Matikan mesin!" sang kapten kembali memberi perintah.

Tiga menit kemudian kapal berhenti. Kapten Sulistyo mengumpulkan beberapa kelasinya saat itu juga di ruang kapten. Mereka memenuhi ruang pertemuan itu dengan tergesa-gesa.

"Kita harusnya lebih sigap terhadap kehadiran pulau-pulau karang seperti itu. Apakah pulau itu tak nampak di radar?"

"Maaf pak, kehadiran atol itu sama sekali di luar perhitungan cermat kami. Perlu bapak ketahui bahwa lima menit yang lalu jaringan listrik di anjungan mati, tanpa ada yang tahu penyebab pastinya. Dan pada saat itu pula jalur pelayaran kapal ini telah berubah. Semua ini seakan merupakan suatu sabotase," ujar salah satu kelasi.

Kelasi lain pun ikut berujar: "Saya pun curiga bahwa kita telah disabotase,  karena ketika fasilitas tenaga listrik hidup lagi, kami terkejut bahwa kapal telah memasuki jalur pelayaran yang berbahaya. Kami terjebak di lautan dangkal tadi."

"Sudah periksa kerusakannya?" tanya kapten Sulistyo kembali menyelidik.

"Empat kompartemen dek dasar robek pak. Air sedang mengisi lambung kapal."

"Apakah kau sudah aktifkan pintu kedap air?"

"Sudah. Sampai saat ini tekanan stabil. Untuk sementara status kapal aman karena kita masih bisa terapung."

"Syukurlah. Tetapi kita harus menyelidiki apakah ada hal misterius yang terjadi dibalik insiden ini."

"Pak, apakah semua penumpang perlu disiagakan sekarang untuk kemungkinan evakuasi?"

"Berapa jumlah penumpang kita?"

"8.200 orang dari 4 kelas yang berbeda dan 800 kru kapal."

"Untuk saat ini belum perlu. Kita hanya perlu memperbaiki kerusakan pada lunas kapal dan kembali berlayar."

Kapten Sulistyo baru saja hendak bergegas keluar ruangannya ketika kelasi lain datang memberi hormat dengan raut wajah tegang.

"Pak, ada laporan dari kepala bagian teknisi. Ia ingin ditemui sekarang."

Dengan enggan sang kapten kembali terduduk di kursinya.

"Suruh dia masuk!"

Sang kelasi tingkat satu dengan jas hitam itu bergegas cepat menemui sang kapten sambil membawa diagram kapal dan langsung menyampaikan apa yang ingin ia katakan.

"Kapal ini sedang mengalami overbagasi!" penuturan sang kelasi membuat wajah sang kapten berkerut. "Overbagasi? Apa maksudmu?"

"Jumlah orang yang sebenarnya bisa dimuat kapal ini adalah 7.200 penumpang dan 800 kru kapal, serta tonase bagasi seberat 68.000 ton. Masalahnya, kita kini memiliki tambahan 1.000 penumpang beserta tonase bagasi bawaannya yang tak dapat diperkirakan dengan pasti. Kapal kita telah membawa muatan yang melebihi kapasitas beban maksimumnya."

"Ini adalah pelayaran perdana. Kami memberi diskon dan harga tiket lebih murah."

"Itulah masalahnya kapten. Semua itu kini membuat tekanan kapal terlampau besar. Air sedang merembes masuk ke kompartemen 6 dan 7," jelas sang kelasi. Perjelasan kelasi yang bernama pak Marwoto itu terhenti sejenak.

"Apa artinya itu?" tanya sang kapten penuh kecemasan.

"Kapal ini akan tetap terapung kalau air hanya merembes dan memenuhi 5 kompartemen pertama. Jika air mulai menerobos kompartemen 6 dan 7, maka dipastikan bahwa air juga akan merembesi ke 18 kompartemen lainnya. Itu artinya kita harus segera mengevakuasi warga kapal ini. Dalam tiga jam kedepan, Megabahari akan mencium dasar laut samudera pasifik."

Mata kapten Sulistyo mendelik seakan mau meloncat keluar dari rongga tengkoraknya. Ia tak menyangka bahwa hari ini akan menjadi hari terkelam dalam tiga puluh dua tahun karirnya sebagai seorang kapten kapal.

***

Tiga hari sebelumnya...

"Kau harus percaya bahwa tambahan beban ini tak akan banyak berpengaruh terhadap pelayaran kita. Semua mata di negeri ini sedang tertuju pada hotel raksasa terapung ini. Kita bisa untung besar dan semua orang akan tahu bahwa maskapai pelayaran kita adalah yang paling ulung di bumi nusantara ini, Sulistyo."

"Aku tahu itu Freidrich, tapi kita tidak boleh pernah melanggar ketentuan standar keselamatan demi keuntungan belaka..."

"Sulis, sejak kapan kau berubah menjadi sebodoh ini? Ingat! Akulah yang mengorbitkanmu sebagai orang nomor satu di Megabahari. Kau berutangbudi padaku. Percaya saja, tidak akan ada kecelakaan ataupun kerugian. Aku sudah berpengalaman menakhodai kapal pesiar selama 20 tahun, sejak masa mudaku dan tak pernah terjadi masalah apapaun mengenai overbagasi ini. Ini kapal laut Sulis, bukan pesawat!"

"Baiklah. Saya akan mengizinkan pemuatan 1.800 penumpang lagi," kata Sulistyo dengan nada pasrah. Perdebatan itu berakhir dan Sulistyo tercenung. Ia kalah atau mungkin lebih tepatnya mengalah. Dia tahu, bahwa sangat berbahaya baginya untuk melawan permintaan orang nomor satu di PT. Naval Abadi itu. Itu sama saja dengan bunuh diri. Lagipula, menurut anggapan Sulistyo sendiri, selama mendatangkan keuntungan, mengapa keputusan itu tidak dapat dilaksanakan?"

***

"Apa? Tambah 1.800 orang lagi? Tentunya tambahan orang ini beserta bagasinya akan menyebabkan tonase kapal naik sekitar lebih dari 100 ton. Kita akan mengalami overbagasi, Sulistyo, " keluh Richard, sang arsitek kapal pada kapten Sulistyo siang itu.

"Itu sudah kupikirkan. Tetapi ini demi keuntungan maskapai pelayaran ini juga. Semua orang sedang melirik pada kapal ini, sebuah mutiara putih yang baru muncul dari dasar laut Indonesia."

"Tapi sebagai arsitek kapal, aku tahu persis apa yang terjadi kalau kapal ini overbagasi. Jika kapal itu mengalami kebocoran pada lunasnya, maka perangkat anti tenggelam tak akan mampu menahan bobot kapal itu."

"Tuan Richard, anda tidak perlu kuatir. Megabahari akan dikawal oleh para kelasi yang jenius dan berpengalaman. Lagipula, anda tidak akan kehilangan muka, pun kalau kapal itu mengalami hal-hal yang tidak diinginkan nantinya."

Dengan tatapan putus asa dan marah, Richard menggebrak meja kerja Sulistyo. "Demi Tuhan! Semua orang di maskapai ini tidak pernah mendengarkanku. Kalian hanya membutuhkan ide dan talentaku tetapi tak pernah sedikitpun mau mendengarkanku! Aku bertanggunjawab atas nyawa ribuan orang di kapal itu Sulsityo...!!!" teriak Richard marah.

"Sebentar lagi kau tak akan bertanggungjawab sedikitpun Richard..." Suara pak Freidrich tiba-tiba menyela, ia datang dengan membawa seorang yang lain lagi.

"Mulai hari ini saya telah putuskan untuk memberhentikanmu sebagai pengawas dan penanggunjawab konstruksi teknik kapal. Sebagai gantimu, Pak Sadli dari teman seperguruanmu yang akan menggantikanmu," kata pak Freidrich sambil menunjuk seorang pria berkumis tebal di samping kirinya. Richard berang.

"Aku tak menyangka, selama ini orang-orang yang kupercaya adalah serigala berbulu domba... bedebah!!!" seru Richard beringas.

"Penjaga, tolong bawa orang ini keluar kantor!" perintah pak Freidrich.

"Matilah kalian semua... semoga Kapal kalian itu terkubur di dasar laut!" pekik  Richard sambil berlalu digandeng para penjaga.

"Mengapa kau ambil keputusan seperti itu?" tanya Sulistyo keheranan dengan tindakan menggemparkandari Freidrich.

"Kau tahu bahwa kecoa itu selalu saja memotong keuntungan yang harus kita dapatkan demi mengurusi hal-hal mengenai standar keamanan. Menurutku itu tidak penting sama sekali. Sekarang kita tidak membutuhkan dia lagi. Dia telah memberikan apa yang kita mau: kapal raksasa canggih tiada banding. Dengan melenyapkan dia, kita tidak perlu berpikir banyak soal standar keamanan yang memotong banyak biaya itu."

***

"Pak!" Panggilan seorang kelasi mengembalikan kapten Sulistyo dari perjalanan ingatannya.

"Oh ya, ada apa?"        

"Air sudah mulai masuk ke palka paling bawah. Kecemasan serta kericuhan mulai memenuhi kapal. Kami menunggu perintah selanjutnya."

Sulistyo tercenung. Sekitar sembilan ribu orang berada di kapal raksasa itu. Ia bingung harus mulai dengan tindakan apa. Ia masih tak percaya bahwa permata kemilau PT. Naval Abadi itu akan menemui nasib tragis seperti SS. Titanic, nenek moyangnya, sekitar 180 tahun yang lalu.

"Oh ya, evakuasi setiap orang mulai sekarang. Anak-anak dan wanita terlebih dahulu. Carikan juga kapal sekitar untuk bantuan."

Lampu evakuasi menyala dan sirene pun berbunyi menggema di mana-mana, tepat setelah sang kapten memberikan perintah evakuasinya. Sang kapten sendiri begitu terpukul. Setelah memberi perintah itu, ia kembali ke kamarnya. Dalam keadaan gawat seperti itu, ia memutuskan untuk menghubungi pemimpin tertinggi maskapai laut kebanggaaannya.

"Halo, Pak Freidrich?" sapa sang Kapten.

"Ya. Bagaimana tuan kapten?" jawab suara dari seberang.

"Apa yang kita takutkan sedang menimpa kita. Sebentar lagi mutiara laut kita akan tenggelam."

"Hei, kau tidak sedang main-main denganku kan?"

"Seandainya saja kita mendengarkan Richard..."

"Hei, katakan yang sebenarnya. Jangan main-main denganku Sulistyo, kau mendengarkanku? Di mana Sadli?"

Sang Kapten memutuskan hubungan komunikasi itu secara mendadak. Namun tiba-tiba pikirannya mengarah ke arah Sadli, pria berkumis yang bertugas menggantikan Richard.

Dia tidak terlihat dari tadi. Terakhir kali dia terlihat adalah di anjungan, sebelum aku beristirahat, tepat sebelum tabrakan dengan pulau karang. Ada sesuatu yang tidak beres dengannya... batin Sulistyo.

"Semua satuan harap berada di posisi darurat masing-masing. Megabahari, kapal kebanggaan kita sebentar lagi akan tenggelam. Semua sekoci dilepas. Masing-masing penumpang harap naik ke sekoci secara tertib, mulai dari wanita dan anak-anak!"

Dari pengeras suara, perintah kapten baru saja diumumkan. Sementara itu, lewat remote komandonya, Sulistyo mengirimkan pesan kepada setiap kelasi untuk memberitahukan keberadaan Sadli.

Lima menit berlalu. Keberadaan Sadli belum juga ditemukan. Padahal, justru dalam situasi pelik seperti ini, jasanya yang paling dibutuhkan. Sulistyo berpikir keras, kecurigaannya makin bertambah. Kembali sang kapten berbicara dalam batinnya:

Hanya ada satu orang yang paling mungkin melakukan sabotase itu. Yakni Sadli. Dia adalah pengawas konstruksi teknik kapal. Sudah pasti dia mengetahui konstruksi serta denah kapal beserta fungsi perangkat-perangkatnya. Dia benar-benar memanfaatkan keadan overbagasi ini. Untuk meneggelamkan kapal ini, ia hanya butuh pemicu. Dan pemicunya adalah kebocoran lunas kapal ini. Kesempatan itu didapatkannya dengan mematikan suplay listrik ke anjungan serta mengubah jalur pelayaran dengan kartu identitas yang dimilikinya. Semua itu masuk akal. Tetapi mengapa dia harus melakukan semua itu?

"Sedang mencariku?" Sosok siluet hitam yang berdiri di samping kiri Sulistyo mengejutkannya.

"Sadli?"

"Ya, ini aku kapten..."

Sosok berkumis itu muncul dengan sepucuk pistol laser perak mengkilat di tangannya. Sulistyo yang kaget, sontak mengangkat tangan tanda menyerah.

"Sulistyo... Sulistyo..., semua orang di republik ini tahu kalau kapal-kapal PT. Naval Abadi memiliki standar keamanan dan keselamatan yang tinggi. Sudah banyak aksi teror yang gagal dilakukan karena hal ini. Aku jadi sadar, untuk menenggelamkan satu kapal Naval Abadi, aku tak boleh menyerang dari luar. Hanya satu kemungkinan yang pasti, aku harus jadi orang dalam. Dan akhirnya kini aku berhasil melakukannya."

"Jadi, kau yang selama ini menghasut pak Freidrich agar mendepak Richard?"

"Ya. Dan sebagai info tambahan, aku juga sengaja memanas-manasi si Freidrich soal standar keamanan yang banyak makan anggaran itu," kata sadli sambil terkekeh.

"Jadi, kaukah orangnya? Kau mau menghancurkan kami?"

"Setelah kematianmu di tanganku hari ini, dendamku 10 tahun lalu akan terbalaskan!"

"Tolong, hentikan ini Sadli. Aku tak tahu apapun mengenai dendam yang kau maksudkan..."

"Kau lihat foto ini?" kata Sadli sambil menunjukkkan sebuah foto hitam putih yang menampilkan seorang kapten kapal. "Tentu kau kenal ayahku bukan? Dialah kapten kapal Zaragosa. Ia tenggelam karena sabotase dari  seorang anggota pekerja di PT. Naval Abadi. Perusahan ini telah berusaha menyingkirkan permata PT. Laut Kencana. Sekarang, kalian akan merasakan pembalasan dendam itu...," kata Sadli lagi sambil kembali tertawa kencang.

Sadli mengarahkan pistol lasernya ke arah kepala Sulityo yang sedang bergetar ketakutan di tempat duduknya. Namun...

"Zraassshh!!!Zraassshh..!!!"

Beberapa kilatan laser menembusi bahu kiri Sadli. Tubuhnya yang kekar itu rubuh seketika, terkapar di lantai. Ia mengerang menahan sakit. Beberapa kelasi segera berhamburan masuk memborgol Sadli. Beberapa lagi mengelilingi sang kapten yang masih bergetar dan linglung.

"Kami datang untuk menyelamatkan bapak. Bapak tidak apa-apa?"

***

Tiga jam berlalu sejak tabrakan. Kapal pesiar termegah di belahan bumi bagian Selatan itu mencium dasar laut, bersama 6.234 orang yang mati/hilang. Bencana ini dicatat sebagai bencana pelayaran terbesar sepanjang masa, mengalahkan bencana tenggelamnya SS. Titanic dari Inggris pada tahun 1912.

Setelah kejadian itu, Freidrich dan Sulistyo ditangkap dan dipenjarkan atas kecolongan standar keamanan yang begitu rendah. Kebodohan dan kecerobohan ini begitu membekas dalam sejarah dunia pelayaran Indonesia.

                                                

*) Cerita ini terinspirasi dari peristiwa tenggelamnya kapal SS. Titanic, milik maskapai laut Inggris White Star Line, yang tenggelam tanggal 14-15 April 1912.

(Timika, Desember 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun