"Mengapa kau ambil keputusan seperti itu?" tanya Sulistyo keheranan dengan tindakan menggemparkandari Freidrich.
"Kau tahu bahwa kecoa itu selalu saja memotong keuntungan yang harus kita dapatkan demi mengurusi hal-hal mengenai standar keamanan. Menurutku itu tidak penting sama sekali. Sekarang kita tidak membutuhkan dia lagi. Dia telah memberikan apa yang kita mau: kapal raksasa canggih tiada banding. Dengan melenyapkan dia, kita tidak perlu berpikir banyak soal standar keamanan yang memotong banyak biaya itu."
***
"Pak!" Panggilan seorang kelasi mengembalikan kapten Sulistyo dari perjalanan ingatannya.
"Oh ya, ada apa?" Â Â Â Â
"Air sudah mulai masuk ke palka paling bawah. Kecemasan serta kericuhan mulai memenuhi kapal. Kami menunggu perintah selanjutnya."
Sulistyo tercenung. Sekitar sembilan ribu orang berada di kapal raksasa itu. Ia bingung harus mulai dengan tindakan apa. Ia masih tak percaya bahwa permata kemilau PT. Naval Abadi itu akan menemui nasib tragis seperti SS. Titanic, nenek moyangnya, sekitar 180 tahun yang lalu.
"Oh ya, evakuasi setiap orang mulai sekarang. Anak-anak dan wanita terlebih dahulu. Carikan juga kapal sekitar untuk bantuan."
Lampu evakuasi menyala dan sirene pun berbunyi menggema di mana-mana, tepat setelah sang kapten memberikan perintah evakuasinya. Sang kapten sendiri begitu terpukul. Setelah memberi perintah itu, ia kembali ke kamarnya. Dalam keadaan gawat seperti itu, ia memutuskan untuk menghubungi pemimpin tertinggi maskapai laut kebanggaaannya.
"Halo, Pak Freidrich?" sapa sang Kapten.
"Ya. Bagaimana tuan kapten?" jawab suara dari seberang.