Mohon tunggu...
Paris Ohoiwirin
Paris Ohoiwirin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyelesaikan pendidikan terakhir di sekolah tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara. Gemar membaca dan menulis tema-tema sastra, sejarah dan filosofis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Atheisme dan Sikap Umat Beragama

26 Januari 2023   19:55 Diperbarui: 27 Januari 2023   22:49 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                          (pixabay.com)

Di Indonesia, seseorang tidak kesulitan menemukan monumen keagamaan dan gedung- ibadah yang megah. Berbagai kota dengan bangga menunjukkan monumen keagaman tersebut sebagai ikon; Manado misalnya menunjukkan monumen Yesus memberkati sebagai ikon kota; atau Aceh menampilkan Masjid Baiturahmannya yang indah.

Indonesia dapat dikatakan sebagai negara religius. Di sini, agama merupakan hal penting dalam menuntun perilaku hidup. Bahkan, Ideologi negara “mewajibkan” warganya untuk beragama atau setidak-tidaknya percaya akan eksistensi Tuhan. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” diletakkan sebagai sila pertama karena “Ketuhanan” merupakan nilai paling mendasar bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan nilai-nilai lainnya seperti kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial.

Memang bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk melawan tindakan kriminal, politik kotor dan berbagai penyakit sosial lainnya. Namun semua kenyataan itu tidak menyingkirkan kenyataan bahwa Indonesia berpegang teguh pada kepercayaan akan Tuhan.

Kenyataan ini tidak selalu terjadi di berbagai belahan dunia. Terbalik dengan Indonesia, di beberapa negara tertentu ada fenomena yang meresahkan kaum beragama yakni perkembangan jumlah orang yang menyatakan diri sebagai Atheis. Tentu Atheisme akan dianggap aneh dan bahkan berbahaya oleh warga Indonesia yang dikenal religius, namun di berbagai belahan dunia kini, Atheisme makin mengokohkan eksistensinya. Kita patut bertanya, apakah Atheisme akan turut mengancam Indonesia?

 

Tren atheisme

Selama tiga dekade terakhir ini di Eropa, Amerika Utara dan Asia Timur, Atheisme sedang meningkat pesat. Hal ini bahkan telah terjadi juga di negara-negara Timur-Tengah seperti Mesir, Turki dan Iran. Menurut sebuah survei yang diadakan pada tahun 2014-2016 (seperti yang dikutip dari https://internasional.kompas.com/read/2018/03/22), didapati bahwa kebanyakan generasi muda (16-25 tahun) di Eropa bersikap apatis terhadap agama apa pun dan bahkan mengakui diri sebagai atheis. Angka anak muda yang mengaku tidak beragama paling tinggi terdapat di Republik Ceko yang mencapai 91%, diikuti oleh negara-negara Eropa lain: Estonia, Swedia dan Belanda yang masing-masing 70-80% anak mudanya mengaku tidak beragama.

 Di Asia Timur, angkanya lebih mengejutkan. Bahkan negara penyumbang Atheisme terbesar justru berasal dari Asia yakni Cina yang menyumbang sekitar 60% penduduknya, Korea Utara dan Korea Selatan serta Jepang masing-masing menyumbang sekitar lebih dari 50% dari penduduknya.  Padahal, negara-negara itu dulunya adalah basis bagi pemikiran adat ketimuran yang sangat menjunjung tinggi spiritualitas dan kepercayaan akan keabadian jiwa.

Dengan kondisi seperti ini, jumlah orang yang mengaku Atheis kini diperkirakan sebanyak 1,5 Miliar orang, berada dibelakang jumlah penganut Kristen dan Islam. Pew Research Centre bahkan memproyeksikan bahwa atheisme akan terus berkembang, bukan saja di negara-negara liberal tetapi juga di negara-negara konservatif seperti Timur Tengah dan Asia Selatan

 

Atheisme dan kemunculannya

Pada abad ke-15, tidak ada seorang pun yang kiranya menyatakan secara terbuka bahwa Tuhan itu tidak ada. Bahkan para pemikir paling liberal pun tidak menafikkan eksistensi Tuhan. Namun demikian kecenderungan ini mulai terkandung dalam pemikiran humanisme; yaitu penghargaan akan derajad manusia dan optimisme pada kekuatan pikiran manusia. Pada humanisme, Tuhan memang tidak disangkal, namun pusat perhatian dan titik tolak pemikiran sudah beralih kepada manusia. Di sini kebebasan berpikir manusia dijunjung sehingga tidak harus tunduk kepada dogma-dogma agama yang kaku dan mengikat.

Pada tahun 1687 Isaac Newton menerbitkan bukunya “Principia” yang memaparkan hukum fisika mekanis. Buku itu menjelaskan bahwa alam semesta bergerak dengan hukum-hukum yang pasti dan tak berubah. Sejalan dengan pandangan Newton, muncullah Deisme. Dalam Deisme, Tuhan dipandang seperti pembuat jam, yang setelah membuat bumi, ia mengundurkan diri dan meninggalkan alam semesta berjalan sendiri dalam keteraturannya. Dalam deisme Tuhan tidak disangkal, tetapi disnigkirkan dari kenyataan hidup manusia.

Kecenderungan kepada Atheisme makin terasa dalam pandangan Saintisme. Di sini agama dan berbagai moralitas disangkal. Satu-satunya andalan manusia dalam mencapai kemajuan adalah ilmu pengetahuan. Hanya ilmu pengetahuanlah yang menjamin keselamatan manusia dalam menyelesaikan segala problematikanya.

Atheisme secara terang benderang diproklamasikan oleh para pemikir progresif seperti Karl Marx, Nietzsche, dan Feuerbach. Bukan saja mengangap bahwa agama adalah hasil imajinasi dan daya khayal semata, mereka juga menganggap bahwa Tuhan tidak lain dari ciptaan proyeksi ketidak-amanan jiwa manusia. Manusialah yang menciptakan Tuhan karena mereka berusaha untuk mencari jawaban atas kedua pertanyaan terdalamnya yang berada dalam misteri; waktu sebelum kemunculannya dan waktu sesudah kematiannya. Atheisme kian merebak ketika kaum Komunis berkuasa. Atheisme secara masal dipaksakan rezim Komunis di Rusia, Cina, Korea Utara dan Kuba.

Apakah Atheisme dan kemajuan berkorelasi

Data statistik menunjukkan bahwa Ateisme berkembang pesat di negara-negara yang telah menikmati taraf hidup yang tinggi. Sementara itu religiusitas berkembang justru di negara-negara dengan standar ekomoni menengah ke bawah. Oleh karena itu muncul anggapan jika semakin maju suatu masryarakat, maka mereka akan cenderung meninggalkan agama. Konsekuensi selanjutnya yang diperkirakan adalah bahwa Atheisme dapat merangsang kemajuan dalam masyarakat; persis sebagaimana cita-cita kaum komunis.

 Apakah anggapan ini benar? Apakah ada korelasi antara kemajuan dan Atheisme? Tentu kita tidak boleh gegabah untuk memberi penilaian. Di satu sisi kita tidak bisa menafikan bahwa negara-negara maju memiliki jumlah penduduk atheis yang cukup tinggi. Namun harus diingat  pula bahwa negara-negara itu sudah maju sebelum atheisme menjadi umum. Bahkan di Amerika Serikat, ada kecenderungan yang terbalik dengan Eropa di mana pengaruh kekristenan semakin terasa ditandai dengan bangkitnya gerakan-gerakan peribadatan kharismatik.

Sebaliknya, ada pula beberapa negara atheis yang sampai sekarang masih didera kemiskinan. Contoh paling terkenal adalah Korea-Utara, yang tertinggal jauh dibandingkan saudaranya Korea-Selatan yang sedang mengalami kebangkitan Kekristenan.  Hal yang sama terjadi dengan Kuba dan Vietnam yang dikuasai rezim komunis. Bahkan Cina yang merupakan negara Atheis terbesar belum dapat dikategorikan sebagai negara maju sampai hari ini. Negara itu memang memiliki GDP (Gross Domestic Product) terbesar kedua di dunia, militer nomor tiga terkuat dan telah melakukan berbagai terobosan ekonomi dan teknologi, namun tetap belum bisa dikategorikan sebagai negara maju karena masih memiliki HDI (Human Development Index) tingkat menengah.

Kesimpulannya, bukan atheisme yang membuat sebuah negara maju, namun keterbukaan pikiran dan kebebasan berekspresilah yang membuat sebuah negara berhasil berinovasi dan maju. Di negara-negara yang konservatif karena agama memainkan peran yang sangat penting, masyarakat sulit untuk berekspresi dan mengungkapkan pendapat sehingga negara tidak maju. Hal ini juga justru dapat dialami oleh negara-negara atheis yang masih diketegorikan miskin tadi. Pada negara-negara atheis yang menerapkan pemerintahan otoriter, kebebasan tidak dihargai, akibatnya kreatifitas dipasung dan kemajuan sulit tercapai.


Sikap umat beragama di Indonesia

Tentu saja umat beragama di Indonesia menganggap atheisme sebagai ancaman serius. Namun cepat atau lambat, atheisme juga akan menjalar dan menjadi hal yang umum di Indonesia. Kita sudah terbiasa dengan keberagaman agama. Tapi apakah masyarakat kita sudah siap menghadapi atheisme?

Selama Pancasila masih tetap menjadi tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara, Atheisme tidak akan diberi tempat. Pancasila memang menjunjung tinggi kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk mempercayai apa yang diyakininya, tetapi tentu saja hal ini tidak berlaku bagi para penyangkal Tuhan. Atheisme secara langsung bertentangan dengan sila pertama dan yang terutama: Ketuhanan yang maha Esa.

Bagaimanapun, kehadiran Atheisme dan perkembangannya sudah harus menjadi moment umat beragama untuk mengevaluasi cara kehidupan beragamanya. Kadangkala umat beragama “ditertawakan” oleh orang-orang Atheis ketika gagal untuk melakukan apa yang diimaninya. Kaum beragama sering mengangap diri sebagai kaum yang paling benar, dan cinta kedamaian, namun kenyataannya, kebencian berbalut perbedaan agama telah memicu perang, kerusuhan serta serangkaian teror yang memusnahkan banyak nyawa manusia.           

Kita patut bertanya-tanya, mengapa orang-orang yang tak mengenal Tuhan Kadang kala lebih menjunjung tinggi kemanusiaan dibandingkan masyarakat beragama yang masih doyan korupsi dan menindas orang lain?

Itu sebabnya kita harus memikirkan bahwa sesungguhnya debat-debat doktrin yang berkepanjangan di antara umat beragama tidak akan membawa perubahan ke arah lebih baik. Bahkan tidak sedikit orang beragama yang berbelok menjadi penganut atheisme karena muak dengan sikap keberagamaan yang fanatic namun mengabaikkan kedamaian dan kebebasan berekspresi hakiki manusia. Setiap agama memiliki keyakinan dan kebenaran yang diyakininya sendiri, kita tidak perlu saling memaksa. Biarlah hati nurani masing-masing yang diterangi oleh kebenaranlah yang akan menuntun seseorang akan kepercayaan yang benar.

Selanjutnya, marilah kita berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa iman kita berfaedah secara nyata demi kemajuan dan kemaslahatan manusia. Jika orang-orang beragama meyakini bahwa perbuatannya dapat mendatangkan surga, jangan tunggu sampai surga itu nyata setelah kematian, tetapi hadirkanlah surga itu di atas dunia pada saat ini dan di sini. Karena surga pada hakikatnya adalah keadaan damai dan sejahtera. Pantaskah orang-orang beragama mendambakan surga nantinya dengan menciptakan neraka saat ini?

 

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun