Atheisme dan kemunculannya
Pada abad ke-15, tidak ada seorang pun yang kiranya menyatakan secara terbuka bahwa Tuhan itu tidak ada. Bahkan para pemikir paling liberal pun tidak menafikkan eksistensi Tuhan. Namun demikian kecenderungan ini mulai terkandung dalam pemikiran humanisme; yaitu penghargaan akan derajad manusia dan optimisme pada kekuatan pikiran manusia. Pada humanisme, Tuhan memang tidak disangkal, namun pusat perhatian dan titik tolak pemikiran sudah beralih kepada manusia. Di sini kebebasan berpikir manusia dijunjung sehingga tidak harus tunduk kepada dogma-dogma agama yang kaku dan mengikat.
Pada tahun 1687 Isaac Newton menerbitkan bukunya “Principia” yang memaparkan hukum fisika mekanis. Buku itu menjelaskan bahwa alam semesta bergerak dengan hukum-hukum yang pasti dan tak berubah. Sejalan dengan pandangan Newton, muncullah Deisme. Dalam Deisme, Tuhan dipandang seperti pembuat jam, yang setelah membuat bumi, ia mengundurkan diri dan meninggalkan alam semesta berjalan sendiri dalam keteraturannya. Dalam deisme Tuhan tidak disangkal, tetapi disnigkirkan dari kenyataan hidup manusia.
Kecenderungan kepada Atheisme makin terasa dalam pandangan Saintisme. Di sini agama dan berbagai moralitas disangkal. Satu-satunya andalan manusia dalam mencapai kemajuan adalah ilmu pengetahuan. Hanya ilmu pengetahuanlah yang menjamin keselamatan manusia dalam menyelesaikan segala problematikanya.
Atheisme secara terang benderang diproklamasikan oleh para pemikir progresif seperti Karl Marx, Nietzsche, dan Feuerbach. Bukan saja mengangap bahwa agama adalah hasil imajinasi dan daya khayal semata, mereka juga menganggap bahwa Tuhan tidak lain dari ciptaan proyeksi ketidak-amanan jiwa manusia. Manusialah yang menciptakan Tuhan karena mereka berusaha untuk mencari jawaban atas kedua pertanyaan terdalamnya yang berada dalam misteri; waktu sebelum kemunculannya dan waktu sesudah kematiannya. Atheisme kian merebak ketika kaum Komunis berkuasa. Atheisme secara masal dipaksakan rezim Komunis di Rusia, Cina, Korea Utara dan Kuba.
Apakah Atheisme dan kemajuan berkorelasi
Data statistik menunjukkan bahwa Ateisme berkembang pesat di negara-negara yang telah menikmati taraf hidup yang tinggi. Sementara itu religiusitas berkembang justru di negara-negara dengan standar ekomoni menengah ke bawah. Oleh karena itu muncul anggapan jika semakin maju suatu masryarakat, maka mereka akan cenderung meninggalkan agama. Konsekuensi selanjutnya yang diperkirakan adalah bahwa Atheisme dapat merangsang kemajuan dalam masyarakat; persis sebagaimana cita-cita kaum komunis.
Apakah anggapan ini benar? Apakah ada korelasi antara kemajuan dan Atheisme? Tentu kita tidak boleh gegabah untuk memberi penilaian. Di satu sisi kita tidak bisa menafikan bahwa negara-negara maju memiliki jumlah penduduk atheis yang cukup tinggi. Namun harus diingat pula bahwa negara-negara itu sudah maju sebelum atheisme menjadi umum. Bahkan di Amerika Serikat, ada kecenderungan yang terbalik dengan Eropa di mana pengaruh kekristenan semakin terasa ditandai dengan bangkitnya gerakan-gerakan peribadatan kharismatik.
Sebaliknya, ada pula beberapa negara atheis yang sampai sekarang masih didera kemiskinan. Contoh paling terkenal adalah Korea-Utara, yang tertinggal jauh dibandingkan saudaranya Korea-Selatan yang sedang mengalami kebangkitan Kekristenan. Hal yang sama terjadi dengan Kuba dan Vietnam yang dikuasai rezim komunis. Bahkan Cina yang merupakan negara Atheis terbesar belum dapat dikategorikan sebagai negara maju sampai hari ini. Negara itu memang memiliki GDP (Gross Domestic Product) terbesar kedua di dunia, militer nomor tiga terkuat dan telah melakukan berbagai terobosan ekonomi dan teknologi, namun tetap belum bisa dikategorikan sebagai negara maju karena masih memiliki HDI (Human Development Index) tingkat menengah.
Kesimpulannya, bukan atheisme yang membuat sebuah negara maju, namun keterbukaan pikiran dan kebebasan berekspresilah yang membuat sebuah negara berhasil berinovasi dan maju. Di negara-negara yang konservatif karena agama memainkan peran yang sangat penting, masyarakat sulit untuk berekspresi dan mengungkapkan pendapat sehingga negara tidak maju. Hal ini juga justru dapat dialami oleh negara-negara atheis yang masih diketegorikan miskin tadi. Pada negara-negara atheis yang menerapkan pemerintahan otoriter, kebebasan tidak dihargai, akibatnya kreatifitas dipasung dan kemajuan sulit tercapai.