Penjelasan sang jendral yang bersemangat itu tetap tidak dapat menenangkan hati sang raja. Dengan wajah muram, ia kembali terduduk lesu di takhta batunya. Sambil menatap lesu pada para pembantunya di aula istana gua batu, Leonidas kembali berujar:
"Para manusia itu pernah menyatakan bahwa segala sesuatu akan berubah dan siapapun yang melawan perubahan itu akan mati secara perlahan. Kita tetap mengharapkan hal yang terbaik tetapi terus bersiap untuk hal terburuk. Jika saatnya sudah tiba, bukan mustahil sebuah negara republik bisa muncul di tanah rimba ini. Dan jika waktu itu tiba di saat aku masih membuka mataku, tak akan kubiarkan satupun dari barisan tentara ini yang melindungiku."
Kata-kata Leonidas barusan membuat barisan tentaranya terpekur. Mereka tak menyangka bahwa keyakinan sang raja untuk mempertahankan hegemoni keluarganya telah goyah.
***
Untuk sementara waktu, kerajaan rimba dapat bertahan di bawah polemik yang berlarut-larut. Meskipun demikian, luka keterpecahan itu belum juga dapat disembuhkan. Para republikan masih saja mendengungkan ide-ide mereka di setiap kesempatan dan menyebarkan ide kebencian terhadap Leonidas dan para pendukungnya.
Leonidas tetap waspada dan cemas dengan kekuatan para republikan yang secara diam-diam merambat luas di tengah masyarakat. Sementara itu  jendral serigala tetap begitu percaya diri dan tak menganggap para republikan sebagai ancaman serius. Perang dingin itu terus berlangsung hingga suatu ketika raja rimba mendengar suatu penuturan yang menggegerkan dari intel merpati.
"Yang mulia, dari para kolega kita yang dipenjarakan di kebun binatang kota, kami mendapat informasi bahwa para penduduk kota akan mulai membangun lahan pemukiman di sebelah Utara. Kabarnya proyek itu akan memakan lahan wilayah rimba sebanyak 44 hektar. Apa yang harus kita lakukan yang mulia?"
Wajah Leonidas memerah. Air mukanya menegang namun tak tampak kemarahan, melainkan ketakutan. Seisi istana pun turut tertegun.
"Terimakasih intel merpati, kau boleh kembali ke sarangmu," suara Leonidas makin melemah dan lirih.
"Jenderalku, para mentri dan kolegaku semua. Saya pikir, kita tak akan mampu menghadang invasi manusia di bagian Utara itu. Saya harap semua warga di sana mundur sampai ke batas evakuasi. Bagiku tidak ada pilihan lain."
"Tapi paduka, kita masih bisa melawan! Ayah paduka sering melakukannya ketika para penduduk kota mencoba menerobos hutan ini. Satu aumannya saja sudah cukup membuat makhluk berkaki dua itu tunggang langgang meninggalkan rimba."