Sebulan telah berlalu sejak kepergian sang raja. Warga rimba telah begitu gelisah karena belum memiliki pemerintahan yang legitim. Para warga telah mendesak jenderal serigala untuk mengadakan musyawarah di lapangan rimba demi mencari jalan keluar. Tanpa mengetahui polemik yang telah terjadi, sang jenderal telah menyiapkan sebuah skenario politiknya sendiri yang akan segera menyulut revolusi.
Tepat pada pagi hari, ketika mentari benar-benar berada pada ufuk Timur, serigala serta barisan tentaranya (para harimau, para gajah, para serigala, dan para elang) telah berbaris rapi. Terompet tanda berkumpul pun dikumandangkan dengan nyaring. Dalam beberapa menit saja, lapangan rimba telah dipenuhi warga.
Serigala maju ke depan menyampaikan pesan: "Terimakasih telah memenuhi undangan kami sebagai pemerintah ad interim. Tepat sebulan yang lalu, anda semua telah menjadi saksi sejarah paling kelam dalam masyarakat kita yakni kepergian sang raja mentari, sang singa yang perkasa. Maka pada hari ini, anda semua akan menjadi saksi sejarah bagi babak baru negeri kita. Kami atas nama pemerintah ad interim (sementara) mengangkat Leonidas, anak sang raja mentari sebagai raja baru. Marilah kita berikan hormat penyambutan bagi sang raja!"
Pekikan maklumat itu langsung disambut gemuruh genderang dan terompet serta pekikan nyaring para pendukung keluarga kerajaan. Leonidas, pangeran negeri rimba memasuki panggung, siap-siap menerima mahkota yang diserahkan langsung sang serigala. Namun, sudah bukan rahasia lagi bahwa kelompok penentang monarkhi akan menolak penobatan ini.
"Tunggu!" suara serak yang berat itu menghalangi peletakan mahkota emas di kepala Leonidas. Seluruh hadirin terdiam dan terpana. Sosok tinggi besar serta berbulu itu menampakkan dirinya. Gorila! Kehadirannya yang tiba-tiba membuat warga yang lain mulai riuh rendah dalam kasak-kusuk.
"Jika penobatan itu tetap dilaksanakan, saya  pastikan bahwa kita akan terpecah belah. Secara jujur kami menolak monarkhi; apalagi yang dilandasi dengan kekerasan dan kekakuan. Kami menginginkan demokrasi!"
Kepalan tangan gorila ke angkasa disambut sorak-sorai pendukungnya. Melihat gelagat akan terjadinya huru-hara, Leonidas dilindungi dan diundurkan dari podium, sementara militer siap siaga pada posisi masing-masing. Serigala kembali mengambil tempat utama di panggung, berusaha mengamankan situasi.
"Tenang saudara-saudariku. Monarkhi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik. Negara kita akan selalu stabil karena keterpusatan kekuasaan di satu tangan saja. Demokrasi hanyalah mimpi. Itu adalah utopia para penganggur yang tak memahami apa artinya memerintah. Pemerintahan oleh rakyat?" sang serigala tertawa mengejek, "Janganlah terbius oleh para pemburu itu. Katanya mereka mendirikan negara atas dasar demokrasi. Tapi lihat! Apa yang dihasilkan demokrasi? Kemiskinan dan ketimpangan sosial. Jutaan orang menganggur sementara korupsi merajalela dimana-mana. Demonstarasi terjadi hampir setiap hari. Kerusuhan sudah jadi pemandangan umum."
"Tidak!" Pekikan tajam gorila kembali membahana, "Itu adalah penilaian yang tak adil. Demokrasi yang kau gambarkan tak lain adalah kenyataan dari mentalitas monarkhi yang masih  tertinggal di benak tiap warga para pemburu itu. Kegoncangan memang adalah hal yang niscaya pada sebuah negara demokrasi, tetapi setiap kemajuan selalu ditopang oleh kebebasan dan pengakuan akan hak-hak azazi, dan itu yang tak dapat diberikan oleh pihak kerajaan selama ini kepada setiap warga."
"Cukup!" terdengar sebuah sahutan dari arah belakang kerumunan.
Suara meneduhkan itu tiba-tiba menengahi perseteruan sengit gorila dan jendral serigala. Itu sang kancil. Dialah aristokrat dan penasehat pihak kerajaan. Dia jualah pemimpin kelompok non-blok di rimba ini. Setiap mata tertuju padanya, mengharapkan secercah ide cemerlang yang dapat menyelesaikan perseteruan ini.