Â
Mereka pikir aku telah remuk
Mereka pikir aku telah terhapus dari sejarah
Mereka pikir mimpiku t'lah runtuh
Memang …
Saat itu aku seperti setetes uap di padang gersang,
Lenyap terhisap dalam kehancuran yang pedih
Saat itu mereka berhasil memukul remuk mimpiku,
Mimpi yang kupakai untuk bercermin, melihat indahnya jiwa mudaku
Memang …
Saat itu aku bagaikan halimun pagi, menghilang dalam terik kesia-siaan
Berjuta waktu telah berlalu sejak saat itu, dan kudapati bahwa aku telah berjalan terlalu jauh
Sejenak kutengadahkan mataku dan menoleh ke belakang
Ya!Â
Aku hampir mencapai akhir dari jurang yang menganga ini
Walau mereka telah menghancurkan jembatan asaku,
Aku tetap bangkit dan menyusuri tepian jurang yang terjal ini
Di depan sana secercah fajar telah menungguku,
Dan aku tahu itu takdirku!
Dengan sisa-sisa serpihan jiwa yang masih bersembunyi di balik reruntuhan mimpiku…
Aku bangkit!
Kugenggam sebuah pecahan relik masa laluku yang berceceran,Â
Kusadari suatu kebenaran tak terbantahkan ...
Aku istimewa dan akan selalu begitu!
Aku mungkin hancur dan lebur dihantam kebengisan dan kedengkian para musuhku
Tapi, aku selamat…Â
Kini, aku lebih kuat dari diriku yang sebelumnya…
Kini, setelah menyatu dengan kehancuran, aku mendapati kenyataan yang paradoksal…
Aku telah menjadi batu penjuru bagi Istana yang akan mereka bangun…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H