Sebuah Jeep biru melaju tidak terlalu kencang menyusuri jalan Laksamana Muda Adisucipto Yogyakarta, tidak terlalu terik siang itu, 20 tahun lalu. Duduk di belakang stir Romo Mangun. Di sebelahnya saya duduk, setengah rebahan. Kami berdua berdiam. Kami baru saja dari lokasi SD Kanisius Eksperimental Mangunan. Sudah hampir setengah perjalanan menuju Wisma Kuwera 14, masih hening. Asyik dengan pemikiran masing-masing. Saya asyik berpikir: kira-kira Romo Mangun saat ini sedang memikirkan apa ya? Sementara Romo sembari menyetir, sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Entahlah, barangkali sedang memikirkan negara.
Hanya berdua dengan Romo Mangun dalam suasana nir kata-kata selalu menghadirkan kaku. Saya merasa kurang nyaman apabila diam terus. Tetapi mau memperbincangkan apa ya? Mobil terus melaju. Kami berdua pun terus berdiam diri. Sebelum perempatan Janti ada mobil sedan cokelat mau memutar arah. Laju Jeep biru melambat. Di trotoar jalan saya melihat seorang menggelar galar bambu.
“Mo, itu ada penjual galar bambu. Kayaknya bagus.” Ah, ternyata ada juga pembuka pembicaraan, dan manjur. Romo Mangun menyahut.
“Iya bagus itu.”
Namun yang membuatku terkesima, terkejut, ketika Romo lalu mengalirkan cerita. Menarik sekali ceritanya karena berhubungan dengan pintu-pintu bambu di Wisma Kuwera 14. Sebagian pintu di rumah Romo Mangun terbuat dari bahan bambu, terutama pintu kamar-kamar di asrama bagian belakang. Bukan cuma pintu, juga jendela, ada lemari baju, dinding, dan sebagian langit-langit di lantai atas. Semua terbuat dari bahan bambu yang disusun rapi, artistik.
“Kamu tahu Bin, mengapa sebagian pintu di Wisma Kuwera berbahan bambu?”
Benak saya menduga, bahwa dari awal Romo memang sudah berniat menggunakan bahan bambu. Apalagi Romo Mangun dikenal sebagai arsitek yang punya prinsip: membangun serendah mungkin dengan bahan seringan mungkin. Namun bibir saya tidak jadi mengeluarkan jawaban ini. Karena Romo Mangun sudah terlanjur berkata, “Nah itu ada ceritanya. Semula belum kepikiran pintu berbahan bambu. Jadi, dulu ada seorang simbah penjual tirai bambu pas melintas di Gang Kuwera 14. Saya lagi serius menggambar desain bangunan. Ketika itu terdengar teriakan: Kerai! Kerai! K-e-r-a-a-i..? Nah, logat gaya nada dia mengucapkan itu khas. Seperti ada legatonya, terutama ketika mengucapkan k-e-r-a-a-i..?” kata Romo Mangun sambil menirukan gaya suara simbah. “Saya paling suka mendengar gaya suaranya. Hehe..” Romo Mangun terkekeh mengingat lagi peristiwa itu. Saya juga ikut tertawa, terkekeh. Tertawa karena bisa ikut merasakan lucunya gaya simbah itu dan tertawa karena melihat gaya Romo Mangun pas terkekeh. Tawa Romo itu khas. Kemudian Romo melanjutkan ceritanya. “Maka saya melongok dari jendela atas dan memanggilnya. Simbah berhenti lalu berbalik menuntun sepedanya memasuki pekarangan Wisma Kuwera 14. Simbah itu memang tidak menaiki sepedanya. Sepedanya cuma digunakan untuk menaruh tirai jualannya. Saya bergegas turun.”
*
“Wah ini tirainya mau dijual berapa, Mbah?”
“Ya, 25 ribu, Pak.” (Romo Mangun terkekeh lagi. “Simbah itu memanggil saya dengan sebutan bapak. Hehe..)
“Ya, baik Mbah. Saya beli tirai ini.”