Di dalam bukuSaya Adalah Orang yang Berhutang dipenuhi oleh tulisan menarik dan menginspirasi. Ada rimbunan komentar tentang pribadi Pak Sim.
Salah satunya tulisan dari Jenderal Leonardus Benny Moerdani (Menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu), yang menganggap, Pak Sim sebagai guru dan sahabat dalam perjuangan, yang selalu saja memberikan inspirasi, baik melalui pemikiran maupun karya-karyanya. Pak Moerdani mencatat, betapa dalam perhatian Pak Sim dalam mempersiapkan para calon pemimpin nasional, “… Pak Sim selalu menaruh perhatian dan tidak jemu-jemunya memberikan saran serta kritik melalui tulisan, tatap muka, atau bahkan melalui senda-guraunya yang khas. Bahkan Pak Sim sekaligus memberikan contoh nyata kepemimpinan yang kita idam-idamkan itu, baik selama dalam dinas aktif ketentaraan maupun sesudahnya.”
Menilik yang ditestimonikan oleh Pak Moerdani, kebijakan serupa diselenggarakan oleh Romo Mangun melalui semua sarana dan wahana dia mengevokasi anak-anak muda untuk berada di depan menjadi pemimpin karena yang merubah Indonesia adalah orang-orang muda.
Sedangkan Jenderal Besar A. H. Nasution (Pak Nas) menyampaikan perihal Pak Sim sebagai ahli siasat politik. Pak Nas mencatat kemampuan Simatupang, ketika rekannya itu secara halus berusaha mempertemukan dua tokoh nasional, tokoh militer dan tokoh sipil. Diceritakan oleh Pak Nas: Pak Sim berperan mempertemukan Panglima Besar Soedirman, yang pada 1948 tengah berparade di alun-alun Yogyakarta, untuk bertemu dengan presiden Soekarno di Gedung Agung. Maka, bertemulah kedua tokoh nasional itu, berpelukan, berangkulan. Padahal, ketika itu konon Pak Dirman masih enggan.
Profil Pak Sim sebagai inteletual ABRI digambarkan secara jelas oleh almarhum Pak Soedjatmoko. Dia yang memperlihatkan karangannya, modernisasi, sekularisme, dan kekuasaan, tiga hari sebelum Pak Sim wafat di rumah sakit PGI Tjikini, menggambarkan persahabatan di antara mereka “bagaikan kuntum bunga yang indah”.
Pak Soedjatmoko menulis bahwa Pak Sim dalam karier gandanya sebagai militer, teolog, sekaligus intelektual, secara terus menerus berusaha mempertemukan tiga dimensi kehidupan nasional kita, yaitu modernisasi dan pembangunan; moral dan agama; serta tatanan politik dan peranan militer. Sim secara terus menerus berusaha mempertemukan dimensi moral, keperluan pembangunan, dan pengaturan kekuasaan.
“Dalam usaha ini dia tidak selalu berhasil, karena memang kesenjangan institusional maupun historis dan psikologis tidak mudah dijembatani dalam waktu singkat.”
Pak Sim telah berusaha mempertemukan moralitas dengan politik dan peningkatan kecerdasan bangsa.
Buku Untuk Mengenang Romo Mangun
Pun guna memberi warna inspiratif pada peringatan ulang tahun Romo Mangun yang ke 70, sebuah panitia sudah bersiap menerbitkan sejumlah buku. Romo Mangun wafat pada tanggal 10 Pebruari 1999, namun buku tetap diterbitkan oleh Penerbit Kanisius berjudul Saya Ingin Membalas Utang Kepada Rakyat, dan buku Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Buku yang sedianya sebagai kado ulang tahun ke-70 kemudian dialihkan untuk mengenang Romo Mangun. Selain buku ini, ada delapan judul buku baru yang terbit untuk menandai peringatan 100 hari meninggalnya Romo Mangun pada awal Mei 1999.
Dalam Romo Mangun di Mata Para Sahabat,hadir tulisan dari Abdurrahman Wahid, H. M. Amien Rais, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Jaya Suprana, dan tokoh-tokoh lainnya. Pada kata pengantar diceritakan, bahwa buku itu sudah dipersiapkan satu setengah tahun dan akan diserahkan sebagai “kado” pada 6 Mei 1999. Ketika panitia datang menghadap menyampaikan gagasan itu, Romo Mangun mengatakan spontan, “Yah, asal usaha ini tidak menjadi kultus individu. Karena yang penting itu bukan saya, tetapi rakyat kecil itu harus diperhatikan.”