Tatkala memandangi candi Borubudur, inilah yang menyerbak di benak Mangunwijaya, “Simbolisasi ihktiar hidup itu sangat bagus dan agung diekspresikan dalam candi Borubudur, yang bercitra gunung dengan puncak yang memucuk; dari basis yang luas dan serba penuh bentuk ke arah puncak yang semakin menyempit meruncing, semakin polos dan hening. Sehingga akhirnya seluruh massa materi itu tiba di puncak tertinggi stupa sentral dan memucuk menghilang ke keheningan langit hampa, ke dalam hampa yang dalam kepercayaan India, pada hakikatnya suatu kepenuhan. Kepenuhan sejati yang tidak teraba, tidak terlihat, hening, di mana maya sudah diatasi, dan cakra wahyu, yang menghabisi segala yang ada dalam perputaran ulangnya, dapat dilepas abadi.”
Simak juga “pembacaannya” terhadap Gedung Perpustakaan Beineke untuk naskah-naskah dan buku-buku kuno, Universitas Yale, New Haven USA, Mangunwijaya menarasikan, “Kubus dengan dinding-dinding pelat dobel dari pualam tipis, sehingga pada waktu siang sinar-sinar matahari masih menembus dan menerangi ruang perpustakaan dengan cahaya buram, dan pada malam hari seluruh gedung bercahaya bagaikan api unggun geometrik.”
Sedangkan ketika meresapi bangunan gereja Ziarah Ronchamps di Perancis Timur. Mangunwijaya menyebut karya Le Corbusier arsitek besar abad pertengahan itu, “Sebagai tercitra dalam bentuk-bentuk arsitektural yang arkhaik (asli alami) sangat polos sederhana, bahkan kasar, namun penuh “puisi”.
*
Di dalam buku Wastu Citra Mangunwijaya mensitir kata-kata Paul Claudel, pujangga Perancis:
“Le tumulte au fond de notre ame de pourra pas se defendre long-temps contre le silence ni l’eau contre le reflet.’’
(Keributan dalam lubuk jiwa kita tidak dapat bertahan lama terhadap keheningan, seperti air terhadap bayang-bayang pantulan.)
Mangunwijaya sepakat, seorang arsitek yang baik tidak boleh ribut dan kacau dalam jiwanya. Ia harus mau meditasi, menghening agar refleksi ilham yang benar dapat tercermin bening. Ternyata bangunan punya citra sendiri-sendiri, dan mewartakan mental dan jiwa seperti apa yang dimiliki oleh pembuatnya.
Ini sebangun dengan suasana kelahiran sebuah puisi, larik-larik metafora yang bening berkecambah dari keheningan batin di dalam kesadaran batinn yang jujur. Puisi dan arsitektur yang benar niscaya hadir dari pemikiran hening.
Dia pun merumuskan, manusia tidak hanya berbahasa dengan cakap lidah, tetapi dengan lambaian tangan juga, angguk kepala, kerling mata, lari menyambut, sayang mendekap, jengkel membelakangi, dengki meninju, dan sebagainya dan seterusnya. Tanpa ucapan mulut sepatah pun, peri ulah serta gerak kita sudah berbahasa, sudah membahasakan diri. Tetapi itu sering dilakukan dalam arti negatif juga, artinya: justru untuk berdusta atau menyembunyikan sesuatu di dalam sanubari. Namun, bila selanjutnya di sini kita berbicara tentang ungkapan atau bahasa, yang kita maksud yang positif saja. bahasa dalam kata ulah selaku penampakan batin yang di dalam ke luar.
Tubuh manusialah yang menghubungkan yang serba dalam batin dengan alam semesta yang di luar diri kita, khususnya yang berciri materi.