Mangunwijaya menggoreskan anggitan kalimat enerjik ini di halaman belakang buku Wastu Citra, buku arsitektur yang ditulisnya dengan bahasa ringan sarat rasa sastra. Buku tebal berukuran A3 yang diterbitkan Gramedia Jakarta ini menjadi buku wajib bagi mahasiwa jurusan arsitektur semester awal. Namun jujur, sebenarnya buku ini wajib dibaca oleh semua manusia lintas disiplin ilmu. Meskipun diniatkan membahas arsitektur, muatan buku ini kental sejarah dan ada taburan bumbu filsafat, kita diajak jalan-jalan ke pelosok dunia, termasuk menjenguk masa silam. Membaca buku ini otak kita menjadi kenyang. Buku ini puitis.
Guna dan citra
Bagi Mangunwijaya, arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. Bukan dalam kemewahan bahan atau tinggi teknologinya letak harganya. Bahan-bahan yang sederhana justru lebih mampu mencerminkan refleksi keindahan puisinya, karena lebih bersih dari godaan maupun kepongahan.
Perihal guna dan citra, dia secara lugas dan jernih memaparkan dalam bukunya yang lain Pasal-Pasal Penghantar FisikaBangunan, diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Gramedia Jakarta, cetakan pertama tahun 1980.
Dalam buku ini Mangunwijaya mengekspor pemikirannya secara lugas dan memukau:
“Bangunan, biar benda mati, namun tidak berarti tak “berjiwa”. Rumah yang kita bangun ialah rumah manusia. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang sebenarnya selalu dinafasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu dan cita-citanya. Rumah selalu adalah citra sang manusia pembangunnya. Seperti pakaian kita juga. Dari pakaian, oranglain dapat mengambil kesimpulan banyak tentang watak sikap si pembuatnya, tentang cita-citanya yang mulia atau kekosongannya. Tidak berbeda dengan dari pakaian, rumah mem-BAHASAkan diri kita. Ada rumah latah, ada rumah yang manis, rumah yang keramat, ya bahkan ada rumah yang gila. Tentulah itu datang dari dia yang membuatnya.
Maka dalam membangun rumah atau bangunan lain, ada dua lingkungan masalah yang perlu kita perhatikan: lingkungan masalah guna dan lingkungan masalah citra. Perkataan guna menunjuk pada pemanfaatan yang diperoleh. Guna dalam arti kata aslinya tidak hanya berarti bermanfaat untung materiil belaka, tetapi lebih dari itu: punya daya yang menyebabkan kita bisa hidup lebih meningkat.
Citra sebetulnya hanya menunjuk suatu gambaran (image), suatu kesan penghayatan yang merangkap arti bagi seseorang. Citra gedung istana yang megah besar tentulah melambangkan kemegahan juga. Citra tidak jauh sekali dari guna, tetapi lebih bertingkat sprituil, lebih menyangkut derajat dan martabat manusia. Citra menunjuk pada tingkat kebudayaan sedangkan guna lebih menuding pada segi peradaban. Citra, cahaya pantulan jiwa dan cita-cita kita. Ia adalah lambang yang “membahasakan” segala yang manusiawi, indah, dan agung dari dia yang membangunnya; kesederhanaan dan kewajarannya yang memperteguh hati setiap manusia. Rumah memang kita gunakan, namun lebih dari itu, rumah adalah cermin dan bahasa kemanusiaan kita yang bermartabat.”
Sepertinya ini menjadi kredo arsitekturnya Mangunwijaya karena pemikiran ini disampaikan lagi pada buku Wastu Citra.
*
Kredo ini memastikan bahwa ketika Mangunwijaya merancang sebuah bangunan maka sudah sejak oret-oret pertama dia meresapi selayaknya menulis puisi. Juga ketika memandangi sebuah bangunan karya arsitek lain, Mangunwijaya selayaknya menikmati sebuah puisi, menambah keniscayaan ini.