Beberapa hari lalu ratusan ternak babi dikabarkan mati mendadak di beberapa wilayah di Sumatera Utara. Fenomena ini pernah saya alami sendiri, dulu kala masih duduk di bangku SD.
Kalau tak salah ingat, antara tahun 1993 atau 1994. Ternak babi di seantero kampung kami terserang penyakit aneh hingga mengakibatkan kematian massal. Tidak tahu apa sebabnya, yang jelas satu per satu ternak babi sudah mati bergelimpangan. Ada yang mati di kandangnya, di kebun, hingga di pinggir jalan.
Begini kisahnya...
Saya, yang diberi tugas memberi makan babi setiap sore hari, sebetulnya sedikit lega. Maklum, kala itu tugas tersebut masih menjadi "beban" untuk seusia tergolong anak-anak. Namun apa daya, wajib dilaksanakan.
Beruntungnya, bukan hanya saja yang diberi tugas seperti itu. Tapi seluruh anak-anak di Tapanuli.
Anekdot lucu kemudian lahir. Saat orangtua tiba di rumah pada sore menjelang malam sepulang dari ladang atau sawah, hal pertama yang ditanyakan bukan soal anak-anaknya.
"Kalian sudah kasih makan babi atau belum?"
Itulah pertanyaan yang pertama sekali muncul. Jadi bukan anaknya yang ditanyakan apakah sudah makan atau belum. Ternak babi dulu. Walau hanya 'joke', tetapi itu memang kenyataan.
Ternak babi, tanpa bermaksud mengganggu keyakinan umat lain, bagi masyarakat Sumatera Utara khususnya orang Batak, memiliki peran yang sangat penting. Dari sisi ekonomi maupun dari sisi budaya. Perannya ganda.Â
Dari sisi ekonomi, ternak babi adalah komoditas unggulan yang ikut menopang kesejahteraan di samping hasil pertanian. Ternak babi laku keras di pasaran, dari yang berukuran kecil hingga dewasa.
Sementara dari sisi budaya, ritual adat-istiadat Batak (Kristen) sulit dilepaskan dari menu daging babi. Mau pesta pernikahan, kematian, hingga acara adat lainnya. Daging babi adalah kunci.Â
Sedangkan daging kerbau hanya dikhususkan pada acara adat tertentu, semisal dalam adat kematian seseorang yang sudah punya banyak keturunan, cucu hingga cicit. Itu aturan bakunya.
Atas peran yang cukup vital itulah, ternak babi bagi masyarakat Batak (Kristen) menjadi sangat istimewa. Menopang ekonomi sekaligus menjadi simbol dalam upacara adat.
Untuk itu, ketika (dulu) orangtua malah bertanya soal ternak babi lebih dulu kepada anaknya, kini bisa dimengerti. Meskipun memang, anak tentu jauh lebih berharga dari ternak babi. Tetapi sekali lagi, begitulah realitas kehidupan.
Kembali ke soal kematian massal ternak babi. Saat itu, kampung saya masih masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Utara (kemudian dimekarkan menjadi Tobasa, Humbahas, dan Samosir). Ternyata, seluruh wilayah Tapanuli Utara saat itu mengalami hal serupa. Ternak babi mati mendadak.Â
Tak berlebihan bila menyebut ada ribuan ternak babi yang mati saat itu. Bayangkan saja, hampir seratus persen warga punya peliharaan ternak babi. Masing-masing keluarga minimal punya 2 sampai 3 ekor babi.
Meski tak semasif pemberitaan sekarang, kabar kematian massal ternak babi itu pun terbit juga di koran. Dari koran, warga akhirnya tahu penyebab kematian babi. Yakni adanya virus yang menyebar melalui udara. Frasa 'virus melalui udara' itulah yang semakin membuat warga gelisah.Â
Bagaimana mungkin bisa melawan virus yang menyebar lewat udara? Warga sadar, udara yang berhembus dari Tapanuli Utara sangat mungkin berhembus ke Tobasa atau Samosir hingga ke mana-mana. Semua pasrah.
Betul saja. Hanya pasrah yang bisa diperbuat saat itu. Menyaksikan ternak babi mati satu per satu.
Kuburan demi kuburan pun digali walau aroma busuk dari semak-belukar juga tak terhindarkan. Pasalnya, banyak juga ternak babi yang terjebak di semak-belukar hingga akhirnya mati karena penyakit aneh tersebut.
Mungkin ada yang bertanya, kenapa babi yang sudah mati tersebut tidak 'dimakan' saja? Busyet, kalau makan satu-dua babi sih oke-oke saja. Tapi kalau sudah ratusan, mustahil rasanya. Mau dijual ke pasar? Tak laku.
"Eh..ngapain kau jual babi mati sama aku. Sudah gila kau kurasa," kira-kira begitu ucapan sinis yang muncul dari calon pembeli. Panjang urusan!
Saking sulitnya ketersediaan ternak babi, ritual adat-istiadat pun terpaksa menyesuaikan diri. Mengganti peran babi ke jenis ternak lain, antara lain ayam kampung.
Sebetulnya, ternak kerbau masih banyak tersedia. Tetapi harganya sangat tidak bersahabat. Tak terjangkau bagi mayoritas penduduk yang berekonomi pas-pasan. Namun demi eksistensi adat, kerbau saat itu menjadi pilihan utama. Terpaksa dibeli dengan merogoh kantong dalam-dalam.
Syukurlah, peristiwa mengerikan itu akhirnya berlalu juga. Saya tidak tahu persis apakah penyakit itu hilang dengan sendirinya atau karena adanya campur tangan pemerintah. Tetapi yang pasti, tragedi itu kemudian melahirkan varian baru ternak babi yang sengaja didatangkan dari luar Tapanuli.Â
Ternak babi asal Kabupaten Karo yang masih dalam wilayah Sumut, hingga kini menggantikan varian ternak babi Tapanuli yang nyaris musnah itu.
Akan tetapi, mimpi buruk itu sepertinya datang kembali di tahun 2019 ini.
Berbagai media massa di Sumut termasuk Kompas.com, sudah ramai memberitakan kematian mendadak ternak babi di beberapa wilayah Sumut. Diduga, kematian mendadak itu disebabkan virus kolera babi (hog Cholera), yang celakanya, juga menyebar lewat udara.
Pemprov Sumut dan sejumlah Pemda yang terdampak sudah melakukan langkah penanganan. Antara lain melakukan penyemprotan disinfektan di kandang-kandang ternak babi.Â
Sementara untuk langkah pencegahan penyebaran virus, warga diminta untuk menguburkan bangkai babi masing-masing. Jangan membuangnya sembarangan. Penguburan bangkai ini sangat penting untuk mencegah virus kolera babi menyebar lebih luas lewat udara.
Semoga peristiwa ini cepat berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H