Saking sulitnya ketersediaan ternak babi, ritual adat-istiadat pun terpaksa menyesuaikan diri. Mengganti peran babi ke jenis ternak lain, antara lain ayam kampung.
Sebetulnya, ternak kerbau masih banyak tersedia. Tetapi harganya sangat tidak bersahabat. Tak terjangkau bagi mayoritas penduduk yang berekonomi pas-pasan. Namun demi eksistensi adat, kerbau saat itu menjadi pilihan utama. Terpaksa dibeli dengan merogoh kantong dalam-dalam.
Syukurlah, peristiwa mengerikan itu akhirnya berlalu juga. Saya tidak tahu persis apakah penyakit itu hilang dengan sendirinya atau karena adanya campur tangan pemerintah. Tetapi yang pasti, tragedi itu kemudian melahirkan varian baru ternak babi yang sengaja didatangkan dari luar Tapanuli.Â
Ternak babi asal Kabupaten Karo yang masih dalam wilayah Sumut, hingga kini menggantikan varian ternak babi Tapanuli yang nyaris musnah itu.
Akan tetapi, mimpi buruk itu sepertinya datang kembali di tahun 2019 ini.
Berbagai media massa di Sumut termasuk Kompas.com, sudah ramai memberitakan kematian mendadak ternak babi di beberapa wilayah Sumut. Diduga, kematian mendadak itu disebabkan virus kolera babi (hog Cholera), yang celakanya, juga menyebar lewat udara.
Pemprov Sumut dan sejumlah Pemda yang terdampak sudah melakukan langkah penanganan. Antara lain melakukan penyemprotan disinfektan di kandang-kandang ternak babi.Â
Sementara untuk langkah pencegahan penyebaran virus, warga diminta untuk menguburkan bangkai babi masing-masing. Jangan membuangnya sembarangan. Penguburan bangkai ini sangat penting untuk mencegah virus kolera babi menyebar lebih luas lewat udara.
Semoga peristiwa ini cepat berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H