Mohon tunggu...
Pardomuan Gultom
Pardomuan Gultom Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIH Graha Kirana

Lecturer

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kutukan Golkar Pasca Reformasi: Hanya Bisa Jadi Partai Follower

6 Agustus 2023   12:47 Diperbarui: 8 Agustus 2023   15:26 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada masa Orde Baru, Soeharto yang merupakan pemegang tampuk kekuasaan yang merupakan tokoh penting yang berperan besar pada setiap kemenangan Golkar di setiap Pemilu Legislatif. 

Kondisi ini bisa diamati dari kebijakannya yang mendukung kemenangan Golkar, salah satunya adalah peraturan monoloyalitas PNS. Monoloyalitas adalah kebijakan Mendagri Amir Machmud, seorang jenderal loyalis Soeharto, dimana semua pegawai negeri sipil (PNS) menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar.

Namun, setelah runtuhnya Orde Baru melalui reformasi, peraturan ini dicabut dan memberikan ruang untuk partai lain dalam menyaingi dominasi Partai Golkar.

Setelah Soeharto jatuh, partai ini sempat diambang kehancuran karena desakan publik untuk membubarkannya yang menilai partai ini adalah produk Orde Baru yang korup. Namun, Akbar Tanjung yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 1999-2004, dalam bukunya yang berjudul "The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi" (2007) menyebut Golkar yang sekarang dengan istilah "Golkar Baru".

Meskipun mendapat desakan pembubaran menjelang Pemilu 1999, namun Golkar akhirnya ikut dalam pemilu dan berada pada posisi kedua di bawah PDI Perjuangan dari total 48 partai. Pada Pemilu 2004, Golkar mampu menduduki urutan pertama. 

Namun, sayangnya pada Pemilu 2009, perolehan suara Golkar berada di posisi ketiga, di bawah Partai Demokrat dan PDI Perjuangan. Dan pada pemilu 2014, Golkar memperbaiki posisinya dengan menduduki posisi kedua di bawah PDI Perjuangan sehingga dapat dikatakan Golkar konsisten berada di tiga besar dalam setiap pemilu dalam 20 tahun terakhir.

Namun keberhasilan partai ini menjadi salah satu partai besar di Indonesia sayangnya harus dibarengi dengan berbagai konflik internal, terutama pasca reformasi 1998. 

Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang diselenggarakan pada 11 Juli 1998 di Jakarta menjadi ajang pertarungan politik paling keras sejak Golkar didirikan. Munaslub tersebut memperebutkan posisi ketua umum Golkar untuk menggantikan Harmoko. Posisi ketua umum dimenangkan politisi sipil, Akbar Tandjung, dengan mengalahkan calon dari militer, Jenderal Edi Sudradjat.

Pertentangan yang cukup tajam mengakibatkan keluarnya Edi Sudrajat dan beberapa tokoh Golkar dari kubu Edi Sudrajat yang tergabung dalam Kosgoro yang kemudian mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan, yang dideklarasikan pada 15 Januari 1999.

Keluarnya kubu Edi Sudrajat diikuti terpecahnya MKGR sebagai salah satu organisasi onderbouw Golkar. Di bawah pimpinan Mien Sugandhi, MKGR menjadi partai politik baru. Beberapa pucuk pimpinan organisasi massa Pemuda Pancasila juga membentuk parpol baru Partai Patriot Pancasila, yang dipimpin Yapto S. Soerjosoemarno.

Konflik lainnya adalah pada saat Pemilu 2004, dimana saat itu Golkar mencalonkan pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid, sementara Jusuf Kalla memilih berpasangan dengan capres Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun