Dalam buku yang berjudul "Sejarah Pendekatan Montessori" oleh Agustina Prasetyo Magini (2013), menyebutkan bahwa Maria Montessori adalah wanita berkebangsaan Italia, yang lahir pada tahun 1830, di Kota Chiaravalle, Provinsi Ancona, Italia Utara. Ayahnya, Alessandro Montessori, seorang tentara dan ibunya, Renilde Stoppani, keturunan bangsawan dan berpendidikan tinggi.
Sejak kecil, Montessori diwajibkan oleh ibunya untuk merendah dan membuat sesuatu untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Pengalaman tersebut menjadi pembelajaran baginya tentang kepekaan sosial yang ditanamkan oleh ibunya kepada Montessori.
Di saat masih muda, dia mempunyai minat dan bakat yang besar pada matematika. Orang tuanya mengirimnya ke Roma agar memperoleh kelebihan-kelebihan pendidikan di sebuah kota besar. Meski orang tuanya menginginkan dia menjadi guru, namun Montessori justru memutuskan menekuni bidang mekanika. Namun, bidang tersebut bukanlah kesukaannya. Dan setelah perkenalan yang singkat pada bidang biologi, kemudian dia memutuskan menekuni bidang kedokteran yang membawa dia menjadi wanita pertama di Itali yang mendapatkan gelar Doctor of Medicine pada tahun 1896.
Setelah lulus, dia bekerja di klinik psikiatrik Universitas Roma, dimana pekerjaan tersebut berhubungan dengan masalah cacat mental, yang sangat membantunya dalam menuangkan gagasan-gagasan pendidikan pada masa-masa yang akan datang. Montessori sangat yakin bahwa kekurangan (defisiensi) mental lebih merupakan masalah pedagogis daripada gangguan medis. Dan dia merasa bahwa dengan latihan pendidikan khusus, orang-orang cacat ini akan dapat dibantu.
Pada gilirannya, pendidikan dan pemahaman tersebut terbukti memberikan kontribusi sangat besar dalam pengembangan kemampuan anak yang menderita cacat mental. Montessori sangat menekankan eksistensi anak dan ia juga menggagaskan konsep tentang self-construction dalam tumbuh kembang anak.
Pandangan Montessori
Menurut Montessori, suatu fase kehidupan awal seorang anak sangat berpengaruh terhadap fase kehidupan selanjutnya. Artinya, pengalaman-pengalaman yang dialami oleh seorang anak di awal kehidupannya sangat berpengaruh terhadap kedewasaannya kelak. Begitu juga perlakuan yang diterima anak sejak kecil akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya.
Pandangan Montessori tentang anak dapat dipahami melalui konsep perkembangan anak, yaitu: pertama, child's selfconstruction, dimana anak mengkonstruksi sendiri perkembangan jiwanya. Kedua, sensitive periodes, yang merupakan masa-masa sensitif. Ketiga, absorben mind, yaitu konsep tentang jiwa penyerap. Dan keempat, the natural laws governing the child's psychic growth, yaitu hukum-hukum perkembangan anak.
Montessori meyakini bahwa anak secara bawaan telah memiliki suatu pola perkembang psikis. Selain itu, anak juga memiliki motif yang kuat ke arah pembentukan sendiri jiwanya (self construction). Dengan dorongan ini, anak secara spontan berupaya mengembangkan dan membentuk dirinya melalui pemahaman terhadap lingkungan.
Meskipun anak sudah memiliki pola psikis bawaan dan dorongan vital untuk mencapainya, tidak berarti bahwa ia membawa model-model perilakunya sudah jadi. Dengan demikian anak mengembangkan polapola perkembangan dan kekuatannya itu sejak lahir melalui pengalamanpengalaman interaksional pendidikan. Ada dua kondisi yang diperlukan dalam perkembangan anak, yakni: pertama, adanya suatu interaksi yang terpadu antara anak dengan lingkungannya (baik dengan benda maupun orang). Dan kedua, adanya kebebasan bagi anak.
Montessori meyakini bahwa dalam tahun-tahun awal seorang anak mempunyai apa yang disebut sebagai "sensitive periods", dimana selama masa ini seorang individu mudah menerima stimulus-stimulus tertentu. Adapun masa-masa sensitif anak menurut Montessori, dapat dilihat dari fase usia sebagai berikut:
Pertama, mulai dari kelahiran sampai usia 3 tahun, pikiran anak dapat menyerap pengalaman-pengalaman sensoris.
Kedua, usia 1,5 sampai 3 tahun merupakan fase perkembangan bahasa.
Ketiga, usia 1,5 sampai 4 tahun, koordinasi dan perkembangan otot dan minat pada benda-benda kecil.
Keempat, usia 2 sampai 4 tahun, peneguhan gerakan, minat pada kebenaran dan realitas, dan  menyadari urutan dalam waktu dan ruang.
Kelima, usia 2,5 sampai 6 tahun, peneguhan sensoris.
Keenam, usia 3 sampai 6 tahun, rawan pengaruh orang dewasa.
Ketujuh, usia 3,5 sampai 4,5 tahun, menulis.
Kedelapan, usia 4 sampai 4,5 tahun, kepekaan indera.
Dan kesembilan, 4,5 sampai 5,5 tahun, membaca.
Selain itu, Montessori meyakini bahwa jiwa anak masih belum terbentuk. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, orang dewasa dapat membangun pengetahuan-pengetahuan lainnya. Gejala psikis yang memungkinkan anak untuk membangun pengetahuannya itu dikenal dengan konsep absorbent mind. Dengan gejala psikis ini, anak dapat melakukan penyerapan tak sadar terhadap lingkungannya.
Kemudian anak menggabungkan pengetahuan secara langsung ke dalam kehidupan psikisnya. Kesan-kesan yang diperolehnya melalui proses ini tidak semata-mata memasuki jiwa anak, tetapi juga membentuknya. Proses tak sadar tersebut selanjutnya diganti secara berangsur-angsur oleh proses atau aktivitas jiwa yang disadari.
Pengaruh Aliran Filsafat Progressivisme Â
Aliran filsafat progresivisme memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada abad ke-20, di mana pemikiran tersebut telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter, sebab pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus dapat mematikan daya kreasi, baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Adapun filsafat progresivisme memandang kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Untuk itu, pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhimya akan dapat memberikan warna dan corak dari output yang dihasilkan, yaitu manusia-manusia yang berkualitas unggul, berkompetitif, insiatif, adaptif dan kreatif, serta sanggup menjawab tantangan zamannya.
Penerapan aliran progressivisme dalam dunia pendidikan memerlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang menekannkan bahwa apa yang diperoleh anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan learning by doing dan pemecahan masalah (problem solving) dengan langkah-langkah menghadapi problem, dan mengajukan hipotesa. Dengan berpijak pada pandangan tersebut, maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progresivisme bermaksud menjadikan anak didik memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.
Menurut aliran ini, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Artinya, sekolah adalah bagian dari masyarakat. Untuk itu, sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah tersebut. Perlu diketahui bahwa sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge, akan tetapi sekolah juga berfungsi sebagai transfer of value (pemindahan nilai-nilai), sehingga anak menjadi terampil dan memiliki empati.
Sekolah merupakan wiyata mandala, yaitu wadah pembinaan dalam pendidikan anak-anak dalam rangka menumbuhkembangkan segenap potensi-potensi, baik itu bakat, minat dan kemampuan- kemampuan lain agar berkembang secara maksimal. Guru sebagai pendidik bertanggung jawab akan tugas pendidikannya. Seluruh aktivitas-aktivitas yang dijalankan guru harus diperuntukkan untuk kepentingan anak didik.
Anak dan Peran Orang Tua
Masalah utama dalam pendidikan adalah bukan pendidikannya itu sendiri, tapi masalah hubungan antara anak dengan orang dewasa. Dalam bukunya yang berjudul "The Absorbent Mind" (2008, terj.), Maria Montessori menyebut bahwa anak adalah anak, bukan miniatur orang dewasa. Anak juga bukan layaknya bagaikan sesuatu benda kosong, dimana orang dewasa harus mengisinya dengan sesuatu.
Montessori memandang bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk regenerasi kehidupan manusia. Kegagalan sistem pendidikan yang tidak mampu membangun masyarakat disebabkan karena terdapat adanya kekeliruan sistem pendidikan yang tidak fokus pada pengembangan pendidikan anak di usia dini.
Montessori juga menyebutkan bahwa pendidikan saja tidak cukup bagi anak jika orang tua dan guru, sebagai orang dewasa, memiliki asumsi yang salah terhadap anak. Orang dewasa harus meninggalkan anggapannya bahwa anak bagaikan benda kosong yang menunggu untuk diisi dengan pengetahuan dan pengalaman orang dewasa. Alasannya karena tiap-tiap anak memiliki potensinya masing-masing.
Selain itu, Montessori menegaskan pula pentingnya orang dewasa, baik guru maupun orang tua, agar menghilangkan sifat egosentris dan keotoriterannya terhadap anak. Orang dewasa harus mampu berperan sebagai orang kedua yang memperlakukan anak dengan lemah lembut untuk membantu tahapan perkembangannya dengan baik.
Montessori juga mengingatkan tentang pentingnya pendidikan yang membebaskan anak dari ketergantungan terhadap orang dewasa. Menurutnya, setiap orang dewasa berasal dari seorang anak dulunya. Jadi, anaklah yang membentuk dirinya menjadi dewasa. Anak menyerap pengalaman apapun yang ia alami di dunia dan pengalaman tersebut berpengaruh terhadap perkembangannya ketika dewasa kelak. Jika orang tua ingin anak tersebut menjadi orang yang benar-benar mandiri kelak, maka penting untuk membebaskan sifat ketergantungan anak terhadap orang dewasa.
Orang dewasa harus menyadari bahwa kapasitas belajar anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Anak memiliki kekuatan unik untuk mengembangkan dirinya. Beberapa hasil observasi Montessori menunjukkan perkembangan anak sebagai berikut: anak menggunakan lingkungannya untuk menyempu rnakan dirinya, sementara orang dewasa memanfaatkan dirinya untuk menyempurnakan lingkungannya. Orang dewasa adalah maklhuk yang tidak lagi berkembang, tetapi anak adalah makhluk sedang dalam keadaan senantiasa berkembang secara konstan. Ia berinteraksi dengan lingkungannya dan menyerap semua kesan yang dialaminya dan berpengaruh terhadap perkembangan dirinya.
Tujuan anak melakukan sesuatu pekerjaan sifatnya internal, bukan eksternal, seperti halnya orang dewasa. Orang dewasa melakukan sesuatu pekerjaan untuk menyelesaikan aktifitasnya, tapi anak melakukan aktifitas untuk perkembangannya. Melalui aktifitas kerjanya tersebut, ia mengembangkan konsentrasi, mengembangkan kemampuan motorik, membangun kebiasaan, dan lebih penting lagi ialah membangun konsep diri. Anak lebih tertarik pada proses dalam melakukan aktifitas, sedangkan orang dewasa lebih tertarik pada hasil dari aktifitasnya.
Montessori berpendapat bahwa alamlah yang sangat berpengaruh dan menentukan perkembangan anak. Dari alam pulahlah yang menjadi tujuan pendidikan Montessori, yaitu mengembangkan potensi anak secara optimal. Pendekatan dalam pendidikan Montessori memperlakukan anak sebagai individu yang unik. Pendekatan seperti ini bersifat fleksibel dan berubah sesuai dengan perubahan anak dalam minat dan keinginan, bukan memaksa anak sesuai dengan program yang seragam seperti sistem pendidikan yang dilaksanakan saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H