Kemudian anak menggabungkan pengetahuan secara langsung ke dalam kehidupan psikisnya. Kesan-kesan yang diperolehnya melalui proses ini tidak semata-mata memasuki jiwa anak, tetapi juga membentuknya. Proses tak sadar tersebut selanjutnya diganti secara berangsur-angsur oleh proses atau aktivitas jiwa yang disadari.
Pengaruh Aliran Filsafat Progressivisme Â
Aliran filsafat progresivisme memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada abad ke-20, di mana pemikiran tersebut telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter, sebab pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus dapat mematikan daya kreasi, baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Adapun filsafat progresivisme memandang kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Untuk itu, pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhimya akan dapat memberikan warna dan corak dari output yang dihasilkan, yaitu manusia-manusia yang berkualitas unggul, berkompetitif, insiatif, adaptif dan kreatif, serta sanggup menjawab tantangan zamannya.
Penerapan aliran progressivisme dalam dunia pendidikan memerlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang menekannkan bahwa apa yang diperoleh anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan learning by doing dan pemecahan masalah (problem solving) dengan langkah-langkah menghadapi problem, dan mengajukan hipotesa. Dengan berpijak pada pandangan tersebut, maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progresivisme bermaksud menjadikan anak didik memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.
Menurut aliran ini, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Artinya, sekolah adalah bagian dari masyarakat. Untuk itu, sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah tersebut. Perlu diketahui bahwa sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge, akan tetapi sekolah juga berfungsi sebagai transfer of value (pemindahan nilai-nilai), sehingga anak menjadi terampil dan memiliki empati.
Sekolah merupakan wiyata mandala, yaitu wadah pembinaan dalam pendidikan anak-anak dalam rangka menumbuhkembangkan segenap potensi-potensi, baik itu bakat, minat dan kemampuan- kemampuan lain agar berkembang secara maksimal. Guru sebagai pendidik bertanggung jawab akan tugas pendidikannya. Seluruh aktivitas-aktivitas yang dijalankan guru harus diperuntukkan untuk kepentingan anak didik.
Anak dan Peran Orang Tua
Masalah utama dalam pendidikan adalah bukan pendidikannya itu sendiri, tapi masalah hubungan antara anak dengan orang dewasa. Dalam bukunya yang berjudul "The Absorbent Mind" (2008, terj.), Maria Montessori menyebut bahwa anak adalah anak, bukan miniatur orang dewasa. Anak juga bukan layaknya bagaikan sesuatu benda kosong, dimana orang dewasa harus mengisinya dengan sesuatu.
Montessori memandang bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk regenerasi kehidupan manusia. Kegagalan sistem pendidikan yang tidak mampu membangun masyarakat disebabkan karena terdapat adanya kekeliruan sistem pendidikan yang tidak fokus pada pengembangan pendidikan anak di usia dini.
Montessori juga menyebutkan bahwa pendidikan saja tidak cukup bagi anak jika orang tua dan guru, sebagai orang dewasa, memiliki asumsi yang salah terhadap anak. Orang dewasa harus meninggalkan anggapannya bahwa anak bagaikan benda kosong yang menunggu untuk diisi dengan pengetahuan dan pengalaman orang dewasa. Alasannya karena tiap-tiap anak memiliki potensinya masing-masing.