Bagi musuh Tuhan Ia adalah musuh, dan bagi sahabat Tuhan ia adalah sahabat.
(Maulana Rumi tentang kematian.)
Di sebuah sudut rumah dengan pekarang hijau hamparan sawah dan gunung yang menjulang, kita berbicara dengan nada datar. Tak ada umpatan ataupun cacian seperti biasanya, apalagi dengan nada yang meninggi karena emosi. Gelas-gelas dengan cairan berwarna hitam pekat tak beraturan di hadapan kita. Asap juga terus mengebul di sela-sela perbincangan kita. Ya, malam itu, di ruang depan rumah itu, kita berbicara untuk terakhir kalinya. Waktu itu kau bertanya tentang di mana mendapatkan buku-buku karangan Franz Kafka.
Aku hanya tahu satu buku tentang Kafka, yakni Metamorfosis, dan beberapa yang ada di dalam kumpulan cerita pendek luar negeri. Satu lagi buku yang ada tulisan Kafkanya adalah ‘Kafka On the Shore’diterjemahkan ke bahasa indonesia dengan ‘Dunia Kafka’ karya Haruki Murakami . Lalu, kita pun sama-sama terdiam mencari topik berikutnya.
Nada bicaramu memang pelan, datar, tanpa irama, bahkan teradang terdengar lamat di telinga. Tapi itu semua tak menurangi bobot dan getarannya apalagi keseriusannya. Sesekali ada canda yang kau lemparkan, tapi tetap saja itu canda-canda satir yang membuat kita merenung dan berpikir setelah tergelak sebentar. Di angkringan sederhana di pinggir jalan, kita juga pernah ngobrol ngalur-ngidul tentang banyak hal. Yang aku ingat, kita berbicara tentang peluang usaha di Wonosobo, dan juga tempat kuliah pasca sarjana yang ‘enak’.
Iya, kau berniat untuk melanjutkan kuliah hukummu di kampus besar di Yogyakarta atau di kota tempat kau menyelesaikan sarjanamu, dan untuk sementara ini kau juga mencoba peluang usaha bisnis pakaian. Terutama pakaian anak muda, sejenis Jins, juga batik. Kau berasal dari Pekalongan dan punya semacam pabrik batik. Kita mencoba untuk menemukan peluang yang baik dan tempat yangmenjajikan untuk melaksankan usaha itu.
Itu perbincangan terakhir kita, dan aku masih berharap ada perbincangan esok hari, di kota besar itu. Kota dengan jalanan lebar yang naik-turun, kota yang juga terkenal dengan banyaknya simpang yang berjumah lima. Sebuah simpang yang tak lumrah. Menikmati malam dengan ruap aroma kopi serta lalu lalang para remaja dan manusia-manusia kota. Tentu banyak hal yang akan kita bicarakan di sana.
Aku masih berharap kau kembali dan datang lagi. Menuntaskan cita serta asa yang belum tunai.
kapan pertemuan pertama kita?
Saat ini hanya aku yang bisa mengingatnya, sedang ingatanku sangat parah. Maka ini tak sepenuhnya akurat dan pasti.
Empat tahun silam kurang lebih aku mengingat kita bersua. Di sebuah rumah dan dalam sebuah acara. Di balik kacamata tebal yang kau kenakan, aku masih mengingat sorot tatap mata percaya diri dan sebuah sikap yang matang bagi remaja seusiamu. Kau menjawab dan berdialog panjang lebar atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Dan dalam pelatihan itu, kau masih canggung bergaul dengan teman-teman lainnya yang datang dari beragam kota dan beragam universitas. Saat mala tiba, kau hanya memilih tidur menyendiri di sebuah pojok serambi masjid.
Setelah pertemuan pertama itu, kita kerap berjumpa dalam berbagai acara atau kunjungan-kunjungan biasa. Saat aku pindah kota pun kita masih sering bertemu, sering dalam artian untuk kita yang tinggal di kota yan relatif jauh, dan kita yang sama-sama punya kesibukan.
Kaulah yang sering berkunjung ke kota kami.
Pada satu waktu kunjunganmu, aku ingat kau ingin menyegarkan pikiran dari keriuhan kota besar dan segala aktifitas yang membuatmu jenuh. Aku ingat di kota dengan nuansa pegunungan ini kau malah di ajak untuk keliling makam dan ke tempat tempat bersejarah, dan tentu ini ada sangkut pautnya dengan Islam nusantara yang mulai mencuat akhir-akhir ini.
Ahh... pertemuan-perteuan singkat yang terkadang hinggap sejenak di dalam benak yang penuh sesak, pada akhirnya menemukan arti dan keagungannya saat perpisahan datang. Kita terkadang tak begitu memperhatikan setiap detail kejadian saat peristiwa itu terjadi, namun saat semua tinggal kenangan, satu persatu detail peristiwa tergambar dengan jelas, menceritakan banyak hal, bahkan ia memberikan kita arti tentang kehidupan serta tak jarang ia menjadi bagian dari hidup kita hari ini.
Begitulah pertemuan kita, begitulah persahabatan kita, begitulah misteri kehidupan, dan ternyata ia kita jalani dan kita lalui dengan penuh kecerian dan penuh keoptimisan akan esok yaang akan kita nanti.
Setiap kita punya jalan, setiap kita punya cerita, setiap kita punya garis tangan, dan setiap kita pasti punya perjalanan.
Dan perjalanan kita sangat singkat. Pertemuan kita tak kan kekal. Hanya perpisahan yang akan abadi. Engkau meninggalkan kami untuk menuju ke keabadian itu.
***
Perpisahan kita di dunia ini adalah satu keniscayaan yang tak bisa disangkal apalagi dihalang-halangi. Sekuat apa pun dan sedalam apa pun kecintaan kita kepada perjalanan ini, kita tak bisa mencegah perpisahan untuk menuju perjalanan yang sesungguhnya. Bila kehadiran kita di dunia ini hanyalah imajinasi, maka meninggalkannya adalah satu perjalanan menuju kenyataan. Kau telah menapak jalan itu. Kau telah meninggalkan kami dalam dunia khayalan.
Seharusnyalah kami mengantarmu dengan senyum riang kebahgian. Keikhlasan melepasmu menempuh babak baru perjalanan menuju keabadian. Bila pun ada rinai bening di pelupuk mata kami, maka itu bukan bearti kami bersedih atas kepergianmu, tapi kami menangisi kami yang masih tertinggal dan asyik dengan segala warna-warni penuh pesona namun penuh dengan kepalsuan.
Sedang engkau, dengan iringan seribu cahaya menempuh perjalanan dengan senyum terkembang menyambut rangkulan sang kekasih.
Sambutlah panggilan itu dengan suka cita. Dalam bisingnya dunia kami, kami akan melantunkan do’a serta pujian tidak hanya sebagai bekal kami untuk menyusulmu menempuh perjalanan itu, tapi juga untuk mengiringi perjalananmu di sana.
Tak ada yang harus kami sesali atau ratapi terhadap perpisahan ini. Bagaimanapun juga, perpisahanan ini adalah dedaunan yang dihasilkan oleh pepohonan yang bernama kehadiran. Bagaimana mungkin pohon akan mengingkari dedaunan, bila dedauan adalah bagian dari pohon. Itulah pesona perpisahan. Bila perpisahan kita dilukai oleh duri-duri, maka kitalah yang menanamnya saat pertemuan kita. dan bila pun kita memakai sutera dan kain satin nan indah maka kita jugalah yang memintalnya. Aku yakin, engkau lebih memilih memakai sutera dan kain satin itu, karena saat kebersamaan kita, kau mencoba walau tanganmu kaku untuk menintal semua itu.
Kita pernah bersama melantunkan puji-pujian dan do’a-do’a, dan itu kelak akan menjadi taman bunga yang indah di sana. Engkau akan menjadi seperti burung-burung keabadian yang terbang mengelilingi taman firdaus dengan aroma wewangian yang belum pernah tercium sebelumnya. Wewangian yang berasal dari intisari laku luhur yang pernah kau jalani sebelumnya. Terbanglah sesukamu dengan senyuman dan riang tawa. Nikmatilah segala suka dan cita yang hanya bisa kami mimpikan di dunia penuh canda dan sandiwara ini.
Di puncak karang serupa altar itu kami menghantarmu dengan senyumana. Gulita bukanlah derita yang harus dipenuhi dengan ratap serta hujat yang tak berkesudahan. Di balik gulita dan hembusan angin yang mendera jasad kami, kami berharap engkau tenang dalam balutan cahaya sang Mahacinta. Sementara kami berlumpul dengan kesah dan pahitnya kefanaan, bergembiralah dengan para syuhada dan orang-orang sholeh. Berkumpullah dengan jiwa-jiwa yang merdeka; jiwa yang bebas dari belenggu sangkarnya.
Di hadapan kami samudra menghemas ombaknya menghadirkan buih di tepian pantai, atau pecah menerpa karang, menghadirkan debur yang teratur. Ombak yang hadir karena dideru angin darat. Kau bukanlah buih-buih itu, bukan pula ombak itu, bukan pula karang itu ataupun angin darat. Kau adalah kesemuanya itu. Menjadi semesta yang menyatu mencoba memberi arti bagi kehidupan. Sedang kami masih termangu dalam kesenyapan dan kegamangan misteri masa depan. Dan kau menikmati pertemuan sebagai obat bagi kerinduan.
Jika keabadian itu adalah sebuah rumah megah, maka tangga untuk mencapai pintunya adalah dunia dengan segala kefanaannya. Jika kau telah bergegas meniti dan menaiki anak-anak tangga itu, maka kami masih duduk di tiap anak tangganya, sambil tertawa dan terlena menikmati kesenangan yang tak seberapa. Sedang kau sudah duduk menikmati jamuan dalam pertemuan dengan kekasih yang selama ini kita rindukan.
Pertemuanmu adalah perpisahan bagi kami. Dan pertemuan kita menjadi agung dan bermakna saat engkau pergi melanjutkan perjalananmu. Nantikan kami di keabadian sahabat. Dan semoga kami selalu insyaf dan sadar bahwa kami harus melanjutkan perjalanan. Engkau telah menuanaikan janjimu, dan atas kamilah tanggung jawab atas segala hal yang belum tunai.
***
Hari itu diiringi matahari yang mulai meninggi, kami meninggalkan biru yang bergemuruh, karang-karang terjal nan runcing, bukit-bukit berbatu yang terlihat hijau, dan pepasir yang berhambur di tepiannya. Di jalan kecil berkelok kami disapa kerumunan kupu-kupu kecil berwarna kuning yang dengan gembira mengepakkan sayapnya. Di anatara kepak-kepak sayap mungilnya, kami seakan mendapat bisikan dari mereka; “Jangan bebani ia dengan kesedihan, karena ia sedang bahagia.” Sesekali ulat-ulat pohon jati mampir di bahu dan muka kami, mereka juga berbisik di telinga, “Kamu masih di dunia, tunaikan apa yang pernah kalian citakan”. Mendegar itu semua kami tersentak. Dan matahari semakin menyengat.
*beberapa kalimat dalam tulisan ini diolah dari puisi Maulana Rumi. Diambil dari buku Fiihi Ma Fiihi, dan Jalaludin Rumi; Ajaran dan Pengalaman Sufi.
Wonosobo, awal Januari ‘16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H