Mohon tunggu...
Paoezan Sept.
Paoezan Sept. Mohon Tunggu... Petani - petani

Suka duduk, tapi lebih senang berjalan. Aku bilang untuk menghilangkan Jenuh...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perpisahan: Pertemuan yang Agung

15 Januari 2016   04:09 Diperbarui: 15 Januari 2016   04:24 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sedang engkau, dengan iringan seribu cahaya menempuh perjalanan dengan senyum terkembang menyambut rangkulan sang kekasih.

Sambutlah panggilan itu dengan suka cita. Dalam bisingnya dunia kami, kami akan melantunkan do’a serta pujian tidak hanya sebagai bekal kami untuk menyusulmu menempuh perjalanan itu, tapi juga untuk mengiringi perjalananmu di sana.

Tak ada yang harus kami sesali atau ratapi terhadap perpisahan ini. Bagaimanapun juga, perpisahanan ini adalah dedaunan yang dihasilkan oleh pepohonan yang bernama kehadiran. Bagaimana mungkin pohon akan mengingkari dedaunan, bila dedauan adalah bagian dari pohon. Itulah pesona perpisahan. Bila perpisahan kita dilukai oleh duri-duri, maka kitalah yang menanamnya saat pertemuan kita. dan bila pun kita memakai  sutera dan kain satin nan indah maka kita jugalah yang memintalnya. Aku yakin, engkau lebih memilih memakai sutera dan kain satin itu, karena saat kebersamaan kita, kau mencoba walau tanganmu kaku untuk menintal semua itu.

Kita pernah bersama melantunkan puji-pujian dan do’a-do’a, dan itu kelak akan menjadi taman bunga yang indah di sana. Engkau akan menjadi seperti burung-burung keabadian yang terbang mengelilingi taman firdaus dengan aroma wewangian yang belum pernah tercium sebelumnya. Wewangian yang berasal dari intisari laku luhur yang pernah kau jalani sebelumnya. Terbanglah sesukamu dengan senyuman dan riang tawa. Nikmatilah segala suka dan cita yang hanya bisa kami mimpikan di dunia penuh canda dan sandiwara ini.

Di puncak karang serupa altar itu kami menghantarmu dengan senyumana. Gulita bukanlah derita yang harus dipenuhi dengan ratap serta hujat yang tak berkesudahan. Di balik gulita dan hembusan angin yang mendera jasad kami, kami berharap engkau tenang dalam balutan cahaya sang Mahacinta. Sementara kami berlumpul dengan kesah dan pahitnya kefanaan, bergembiralah dengan para syuhada dan orang-orang sholeh. Berkumpullah dengan jiwa-jiwa yang merdeka; jiwa yang bebas dari belenggu sangkarnya.

Di hadapan kami samudra menghemas ombaknya menghadirkan buih di tepian pantai, atau pecah menerpa karang, menghadirkan debur yang teratur. Ombak yang hadir karena dideru angin darat.  Kau bukanlah buih-buih itu, bukan pula ombak itu, bukan pula karang itu ataupun angin darat. Kau adalah kesemuanya itu. Menjadi semesta yang menyatu mencoba memberi arti bagi kehidupan. Sedang kami masih termangu dalam kesenyapan dan kegamangan misteri masa depan. Dan kau menikmati pertemuan sebagai obat bagi kerinduan.

Jika keabadian itu adalah sebuah rumah megah, maka tangga untuk mencapai pintunya adalah dunia dengan segala kefanaannya. Jika kau telah bergegas meniti dan menaiki anak-anak tangga itu, maka kami masih duduk di tiap anak tangganya, sambil tertawa dan terlena menikmati kesenangan yang tak seberapa. Sedang kau sudah duduk menikmati jamuan dalam pertemuan dengan kekasih yang selama ini kita rindukan.

Pertemuanmu adalah perpisahan bagi kami. Dan pertemuan kita menjadi agung dan bermakna saat engkau pergi melanjutkan perjalananmu. Nantikan kami di keabadian sahabat. Dan semoga kami selalu insyaf dan sadar bahwa kami harus melanjutkan perjalanan. Engkau telah menuanaikan janjimu, dan atas kamilah tanggung jawab atas segala hal yang belum tunai.

***

Hari itu diiringi matahari yang mulai meninggi, kami meninggalkan biru yang bergemuruh, karang-karang terjal nan runcing, bukit-bukit berbatu yang terlihat hijau, dan pepasir yang berhambur di tepiannya. Di jalan kecil berkelok kami disapa kerumunan kupu-kupu kecil berwarna kuning yang dengan gembira mengepakkan sayapnya. Di anatara kepak-kepak sayap mungilnya, kami seakan mendapat bisikan dari mereka; “Jangan bebani ia dengan kesedihan, karena ia sedang bahagia.” Sesekali ulat-ulat pohon jati mampir di bahu dan muka kami, mereka juga berbisik di telinga, “Kamu masih di dunia, tunaikan apa yang pernah kalian citakan”. Mendegar itu semua kami tersentak. Dan matahari semakin menyengat.

*beberapa kalimat dalam tulisan ini diolah dari puisi Maulana Rumi. Diambil dari buku Fiihi Ma Fiihi, dan Jalaludin Rumi; Ajaran dan Pengalaman Sufi.

Wonosobo, awal Januari ‘16

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun