Mengapa oposisi terhadap Putin, atau bahkan terhadap Jokowi (atau Anies Baswedan) dianggap "jahat"? Bukankah oposisi adalah bagian dari "check and balance" dalam demokrasi? Tetapi mungkin di sinilah masalahnya. Oposisi adalah kata yang sangat tabu di Indonesia. Ia berbau demokrasi liberal yang kebarat-baratan. Bikin gaduh bukan guyub. Demokrasi yang sesuai dengan budaya timur itu ya hanya memilih (=mengangkat) pemimpin, lalu setelah itu tunduk. Atau seperti kata seorang teman: "terima pahit manisnya".
Jujur, menyedihkan melihat segala usaha mencerdaskan kehidupan bangsa sejak jaman Politik Etis, Madilog, kemerdekaan sampai saat ini, seolah-olah hanya berhenti pada formalisasi pendidikan; bukan pemahaman sains dan logika yang kritis. Mengenaskan melihat reformasi yang berdarah tidak menghasilkan demokrasi yang bebas dan sehat, karena kultus orang kuat dilanggengkan oleh aktor-aktor (mantan) orde baru yang itu-itu juga.
Mungkin anda akan membantah: "Ini kearifan lokal kita!" Ini sains kita, yang berdasarkan kepercayaan dan kehormatan. Ini demokrasi kita, yang menghormati tokoh junjungan dan otoritas kekuasaan. Silakan anda menganggap bahwa mengikuti metode ilmiah dan menghargai perbedaan pendapat adalah bentuk "kolonialisme dan rasisme intelektual" karena mengacu pada standar Barat. Tidak ada yang melarang.
Afiliasi terhadap tokoh orang kuat ini memang emosional. Tapi toh dalam pemilu kan para kandidat juga memainkan sisi emosional pemilih, jadi apa salahnya? Ini soal suka tidak suka saja. Ada juga yang suka Putin tapi membantah Terawan dengan logika yang tepat. Ada yang sebaliknya. Bahkan ada yang mendukung bukan karena menyembah orang kuat, tapi sisi emosional lainnya (ganteng, seagama, humble). Tidak ada yang melarang anda mendukung mereka, atau Elon Musk, Raja Vajilalongkorn atau Narendra Modi.
Saya cuma mau mengingatkan saja: banyak negara, perekonomian dan masyarakat (nyaris) hancur karena lebih mengedepankan sisi emosional. Orang mengikuti terapi abal-abal, mengambil investasi bodong, menjalani ritual aneh-aneh atau menjunjung pemimpin yang agak-agak gila. Bahkan ada orang yang menggabungkan semua itu jadi satu atas nama negara dan memaksakannya pada rakyatnya. Akhirnya banyak yang jatuh sakit, jatuh miskin, mati konyol atau ikut-ikutan gila.
Yah, memang satu-satunya cara adalah mengembangkan pola pikir kritis (critical thinking). Saya bingung mau ngomong apa lagi soal ini, karena sudah banyak guru bangsa yang berbusa-busa ngomong soal ini -- dari Tan Malaka sampai CEO Zenius -- tapi selalu masuk kuping kiri keluar kuping kiri anak bangsa.
Mungkin karena kita sudah terlalu lama di-brainwash oleh budaya kita, sehingga mau saja percaya dengan brainwash dari balik dinding RSPAD maupun Kremlin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H