Sebelum berangkat lebih jauh, saya perlu menjelaskan posisi saya terhadap dua orang; yang seorang baru dipecat untuk kedua kalinya, dan yang seorang lagi berusaha memecat negara tetangganya dari muka bumi.
Mengenai Terawan, menurut saya sudah seharusnya ia bertanggung jawab atas kekacauan penanganan pandemi Covid-19 yang terjadi selama ia menjabat sebagai menteri kesehatan. Kebetulan dalam keluarga besar saya ada beberapa dokter (antara lain patologi, fisiologi dan jantung) dan semua sepakat bahwa penggunaan DSA untuk terapi cuci pembuluh darah otak maupun "vaksin" Nusantara tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis dan ilmiah.
Kemudian Vladimir Putin. Prinsip saya jelas, invasi militer Rusia atas Ukraina, apapun alasan yang ia karang, adalah ilegal dan tidak berperikemanusiaan. Tidak perlu membandingkan dengan invasi negara lain (AS, Israel atau bahkan Uni Soviet ke Afghanistan) di masa lalu, mencari alasan Ukraina atau Presiden Volodymyr Zelenskiy mau begini atau begitu, atau Indonesia harusnya netral supaya tidak mengekor Barat, atau apalah.
Saya tidak akan membahas teknis penanganan pandemi Terawan atau praktek perdukunannya yang berkedok medis itu. Saya juga tidak akan membahas bejatnya narasi perang Putin (dan Kremlin secara umum) atau kacaunya militer Rusia di Ukraina. Sudah banyak pakar yang membahas keduanya. Yang menjadi fokus kegelisahan saya yang saya tuangkan di sini adalah mengapa masyarakat awam di Indonesia bisa cinta buta pada mereka.
Mungkin yang pertama terlihat jelas adalah, keduanya dianggap mewakili (=memimpin?) perlawanan terhadap hegemoni penindas. Yang satunya melawan IDI dan BPOM yang "dibekingi raksasa farmasi" yang ingin mencegah inovasi medis bagi rakyat jelata demi meraup keuntungan; yang satu lagi melawan AS, NATO dan negara-negara Barat yang menindas negara-negara lemah yang tidak seagama atau sewarna kulitnya untuk mengeruk sumber daya alam mereka.
Sejujurnya bangsa kita tidak pernah lepas dari narasi-narasi demikian sejak merdeka. Kita tidak pernah sembuh dari perasaan minder (inferiority complex) sehingga terus-menerus membutuhkan "musuh" untuk dikalahkan (atau pembanding yang lebih buruk untuk di-bully). Dan celakanya para pemimpin kita terus-menerus mencekoki rakyat dengan melanggengkan candu pikiran yang membodohkan ini demi mendulang dukungan politik.
Tapi anggaplah IDI dan BPOM juga tidak bersih. Saya tidak perlu membantah hegemoni dan diskriminasi yang dilakukan negara-negara Barat. Tetapi apakah hal itu bisa membenarkan apapun yang dilakukan Terawan atau Putin? Sayangnya, narasi perlawanan berbasis rasa minder ini mengharuskan para penganutnya untuk menjawab "ya".
Dengan demikian kita bisa mempertanyakan alasan yang kedua: Kalau memang mereka selalu benar, apakah keduanya benar-benar berjasa bagi bangsa Indonesia sehingga layak dibela?
Sekali lagi, bagi para awam ini tentu saja jawabannya ya. Terawan adalah wujud sempurna "putra terbaik bangsa": perwira tinggi TNI, "penemu jenius" yang ciptaannya dapat menyembuhkan penyakit mematikan, yang "diakui dunia internasional" dan yang akan "memberantas mafia obat".
Berjasa bukan? Sementara Putin dibela lebih karena alasan historis Rusia (Uni Soviet): bangsa Indonesia memposisikan diri sebagai "negara-negara lemah yang tidak seagama atau sewarna kulitnya" bekas jajahan negara Barat, setara dengan Palestina dan negara Asia-Afrika lainnya; sehingga menjadi objek yang perlu (dan pernah) dibela Rusia/Uni Soviet: satu-satunya "juru selamat berkulit putih" yang layak dicintai.
Tetapi apakah benar demikian?
Pertama-tama kita lihat Terawan. Saya pertama kali mendengar namanya dari direktur tempat saya bekerja. Kemudian saya dengar lagi dari direksi dan pemilik perusahaan rekanan. Ketika akhirnya ia diangkat media karena diskors IDI, yang angkat bicara juga pejabat maupun kalangan elit. Testimoni terapi DSA yang beredar juga dari kelas atas, bukan menengah apalagi bawah. Mereka yang ikut menjadi kelinci percobaan "vaksin" Nusantara adalah kelas atas. (Tulisan Dahlan Iskan bahkan jelas-jelas menyebutkan rombongan peserta "vaksinasi" yang isinya pebisnis.)
Sudah jelas bahwa struk konsultasi dan pengobatan Terawan tidak mungkin kurang dari delapan digit. "Terapi" dan "vaksinasi" ciptaanya adalah produk elit yang tidak terjangkau kebanyakan orang. Apa yang dilakukannya justru menjauhkan rakyat jelata dari pelayanan kesehatan universal. Tapi mengapa ada kelas menengah bawah yang membelanya?
Kita beralih dulu ke Putin. Terlepas dari Uni Soviet yang sudah lampau, kita tahu bahwa Putin dikelilingi oleh oligarki yang menggurita. Hidupnya luar biasa mewah. Selama memimpin Rusia, ia juga memerangi negara-negara Muslim seperti Chechnya (yang termasuk "republik" di bawah Rusia) dan Azerbaijan.
Ketimpangan sosial adalah masalah serius di Rusia; dan yang menjadi korban adalah etnis minoritas, tidak sedikit yang Muslim (Tatar, Tajik, Turkmen, Chechen dan sebagainya). Ia berkelindan dengan Gereja Ortodoks Rusia yang sangat diskriminatif dan chauvinistik. Hubungannya dengan Israel mulus, kalau tidak dibilang mesra. Di bawahnya, Rusia melakukan eksploitasi alam besar-besaran untuk mengeruk minyak dan gas, tak terkecuali di negara dunia ketiga.
Singkatnya, Putin juga mewakili penguasa elite kapitalistik berkulit putih; juga diskriminatif pada etnis/agama minoritas dan kaum LGBTQ+; juga mengeksploitasi negara dunia ketiga; juga merusak lingkungan; dan juga melakukan agresi militer yang mencabut ribuan nyawa tak berdosa. Apa yang dilakukannya jelas-jelas mengorbankan kaum marjinal dan kelas menengah bawah, sama seperti kelas penindas lainnya. Tetapi mengapa para "korban" ini membelanya?
Stockholm Syndrome? Seperti di film seri "Money Heist" (La Casa de Papel)? Asal bukan elit raksasa farmasi? Asal bukan NATO atau Barat?
Mungkin jawaban yang paling sederhana adalah: keduanya adalah "tokoh masyarakat".
Coba kita renungkan kembali sosok Terawan: perwira tinggi TNI yang jenius. Lalu Putin: mantan agen KGB, kemudian direktur FSB, kemudian presiden Rusia yang tak punya lawan. Orang berpangkat, bersenjata, berilmu, berwibawa. Yang satu berseragam penuh tanda jasa. Yang satu lagi pernah berpose telanjang dada sambil membawa senjata. Keduanya adalah sosok sakti mandraguna.
Coba bandingkan dengan dokter atau ilmuwan medis lainnya yang berasal dari kalangan sipil. Atau pemimpin yang tidak punya latar belakang militer, intel atau posisi "karismatik" lainnya. Mereka dianggap tidak punya wibawa dan otoritas, betapapun sahihnya logika penelitian yang mereka jalankan, atau suksesnya mereka menyejahterakan rakyat.
Lihat yang mereka lakukan di masa (tahun pertama) pandemi Covid-19. Terawan mengklaim virus ini tidak berbahaya, bahkan cukup ditangkal dengan doa. Ia bahkan tegas menentang penelitian Harvard Medical School (dan juga peneliti-peneliti lokal) yang menyatakan Covid-19 sudah masuk Indonesia lebih awal dari yang diakui pemerintah. Ketika negara lain (termasuk China) masih melakukan uji klinis vaksin (meskipun dikebut), tiba-tiba Rusia menyatakan sudah memproduksi vaksin Sputnik.
Hasilnya? Terawan dan Putin dielu-elukan sebagai pahlawan pandemi yang berani menentang hegemoni elit ilmuwan medis dan industri farmasi. Terlepas dari parahnya tingkat penularan dan kematian di kedua negara.
Jadi mereka tidak melihat Terawan atau Putin sebagai sosok elit. Mereka adalah sosok populis yang mempunyai kekuatan finansial, intelektual dan militer untuk melawan hegemoni elit: peneliti yang bekerja di laboratorium (yang "dibiayai raksasa farmasi"), ilmuwan yang tinggal di (dan "dibekingi") negara lain, pemimpin sipil yang "lemah" dan cenderung kebarat-baratan, atau organisasi dunia yang disetir negara-negara maju.
Narasi perlawanan rakyat jelata yang dipimpin oleh "superhero" kaya raya macam Bruce Wayne / Batman ini memang menarik bagi kelas menengah bawah; apalagi di kebudayaan yang masih mengagungkan tokoh "big man" (orang kuat). Di Indonesia "orang kuat" ini dinilai dari latar belakang, sejarah atau citranya. Maka dari itu kita lebih memilih pemimpin yang berlatar belakang militer, atau pengusaha yang luar biasa kaya, atau punya trah bangsawan maupun politik.
Tapi kemudian anda bisa saja membantah: bangaimana dengan Jokowi? Oke, dia pengusaha, tapi kan apa artinya dibanding taipan kelas kakap ataupun senior-senior di partainya? Bukankah ia mengalahkan mantan jenderal dari keluarga penguasa orde baru? Benar, tapi lihat apa yang terjadi setelah ia menjabat. Orang-orang di sekitarnya (termasuk tapi tidak terbatas pada buzzer politik) membangun citra tegas. Menghadapi bandar narkoba, nelayan asing, ekstrimis, teroris, KKB, bahkan oposisi dan negara asing.
Perhatikan hampir setiap kritik atas pemerintah, atau warga yang protes karena terdampak proyek pemerintah (dan LSM yang mewakilinya) dengan cepat dicap oposisi ("kadrun"). Beberapa kali ada permasalahan, pemerintah menuding ada "mafia" (obat, BBM, minyak goreng dan lain-lain). Bahkan mereka sudah umum menggunakan jargon yang sangat digemari kubu Prabowo untuk menyebut lawan politiknya: "antek asing". Ide untuk memperpanjang jabatannya dibungkus dengan berbagai jargon nasionalisme.
Jokowi memang bukan "orang kuat" sejak awal. Tetapi setelah dipilih secara demokratis, ia dikelilingi orang-orang kuat dan orang-orang biasa yang membangun citra "kuat" pada dirinya. Kuat karena tidak ada yang berani melawan. Kuat karena harus melawan "musuh", "asing" dan "mafia".
Presiden Republik Indonesia bukanlah administrator publik yang dipilih secara demokratis dan diawasi kinerjanya, melainkan pemimpin besar yang diangkat rakyat sebagai "orang tua bangsa" yang akan melawan musuh-musuh negara. Ini bukan "salah" Jokowi; bangsa Indonesia memang belum bisa lepas dari narasi pemimpin yang demikian.
Jadi jika Jokowi yang sipil kelas menengah saja bisa dipoles sedemikian rupa, apalagi Terawan dan Putin yang lebih mentereng statusnya. Dan sebetulnya keduanya juga hanya sebagian kecil dari "orang-orang kuat" yang dinarasikan melawan hegemoni elit; mulai dari Habib Rizieq sampai Kim Jong-Un.
Narasi perlawanan semacam ini memang bukan hanya monopoli Indonesia, negara-negara Timur atau dunia ketiga saja. Sepanjang sejarah selalu saja ada sosok "mesianik" yang dianggap punya sumberdaya tak terbatas untuk melawan kezaliman elit penguasa. Amerika Serikat nyaris dihancurkan populisme Trump dengan narasi anti-sains dan anti-elitnya.
Bahkan Leninisme (tapi bukan Marxisme) -- yang memperjuangkan penghapusan kelas sosial -- menganjurkan adanya "kepeloporan" (vanguardisme) dalam perjuangan proletar, karena kebanyakan kaum tertindas (dianggap) tidak cukup intelek untuk mengobarkan revolusi; prinsip ini akhirnya mewujud menjadi partai pekerja (partai komunis) yang memimpin revolusi dan menjadi penguasa tunggal di banyak negara sosialis.
Sebenarnya jika konsep "orang kuat" ini disingkap lebih jauh, bisa jadi ada perlawanan yang lebih mengerikan daripada menghancurkan hegemoni elit; yaitu perlawanan terhadap sains dan demokrasi. Mengapa? Lihat saja argumen pembelaan Terawan selalu memakai "testimoni pasien". Apa bedanya dengan Mak Erot? Mengapa ketika dijelaskan dengan sederhana kalau uji klinis itu wajib hukumnya selalu ditentang dengan dalih "mematikan inovasi"? Mengapa ketika dijelaskan prinsip penularan virus dan cara kerja vaksinasi selalu dilawan dengan narasi "konspirasi raksasa farmasi"?
(Ada contoh yang sangat jelas: Ketika diberitakan dalam masyarakat Baduy masih belum terdeteksi ada penularan Covid-19, masyarakat menyimpulkan hal ini terjadi karena kesaktian "ilmu kebal" dan ramuan jamu mereka. Padahal jelas-jelas tetua adat mereka mengatakan bahwa kampung Baduy diisolasi total dan diterapkan prokes yang sangat ketat, dan seluruh warga Baduy patuh dan disiplin. Tetapi masyarkat kita tidak mau tahu.)
Mengapa oposisi terhadap Putin, atau bahkan terhadap Jokowi (atau Anies Baswedan) dianggap "jahat"? Bukankah oposisi adalah bagian dari "check and balance" dalam demokrasi? Tetapi mungkin di sinilah masalahnya. Oposisi adalah kata yang sangat tabu di Indonesia. Ia berbau demokrasi liberal yang kebarat-baratan. Bikin gaduh bukan guyub. Demokrasi yang sesuai dengan budaya timur itu ya hanya memilih (=mengangkat) pemimpin, lalu setelah itu tunduk. Atau seperti kata seorang teman: "terima pahit manisnya".
Jujur, menyedihkan melihat segala usaha mencerdaskan kehidupan bangsa sejak jaman Politik Etis, Madilog, kemerdekaan sampai saat ini, seolah-olah hanya berhenti pada formalisasi pendidikan; bukan pemahaman sains dan logika yang kritis. Mengenaskan melihat reformasi yang berdarah tidak menghasilkan demokrasi yang bebas dan sehat, karena kultus orang kuat dilanggengkan oleh aktor-aktor (mantan) orde baru yang itu-itu juga.
Mungkin anda akan membantah: "Ini kearifan lokal kita!" Ini sains kita, yang berdasarkan kepercayaan dan kehormatan. Ini demokrasi kita, yang menghormati tokoh junjungan dan otoritas kekuasaan. Silakan anda menganggap bahwa mengikuti metode ilmiah dan menghargai perbedaan pendapat adalah bentuk "kolonialisme dan rasisme intelektual" karena mengacu pada standar Barat. Tidak ada yang melarang.
Afiliasi terhadap tokoh orang kuat ini memang emosional. Tapi toh dalam pemilu kan para kandidat juga memainkan sisi emosional pemilih, jadi apa salahnya? Ini soal suka tidak suka saja. Ada juga yang suka Putin tapi membantah Terawan dengan logika yang tepat. Ada yang sebaliknya. Bahkan ada yang mendukung bukan karena menyembah orang kuat, tapi sisi emosional lainnya (ganteng, seagama, humble). Tidak ada yang melarang anda mendukung mereka, atau Elon Musk, Raja Vajilalongkorn atau Narendra Modi.
Saya cuma mau mengingatkan saja: banyak negara, perekonomian dan masyarakat (nyaris) hancur karena lebih mengedepankan sisi emosional. Orang mengikuti terapi abal-abal, mengambil investasi bodong, menjalani ritual aneh-aneh atau menjunjung pemimpin yang agak-agak gila. Bahkan ada orang yang menggabungkan semua itu jadi satu atas nama negara dan memaksakannya pada rakyatnya. Akhirnya banyak yang jatuh sakit, jatuh miskin, mati konyol atau ikut-ikutan gila.
Yah, memang satu-satunya cara adalah mengembangkan pola pikir kritis (critical thinking). Saya bingung mau ngomong apa lagi soal ini, karena sudah banyak guru bangsa yang berbusa-busa ngomong soal ini -- dari Tan Malaka sampai CEO Zenius -- tapi selalu masuk kuping kiri keluar kuping kiri anak bangsa.
Mungkin karena kita sudah terlalu lama di-brainwash oleh budaya kita, sehingga mau saja percaya dengan brainwash dari balik dinding RSPAD maupun Kremlin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI