Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Terawan dan Putin

1 April 2022   14:41 Diperbarui: 1 April 2022   14:57 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi mereka tidak melihat Terawan atau Putin sebagai sosok elit. Mereka adalah sosok populis yang mempunyai kekuatan finansial, intelektual dan militer untuk melawan hegemoni elit: peneliti yang bekerja di laboratorium (yang "dibiayai raksasa farmasi"), ilmuwan yang tinggal di (dan "dibekingi") negara lain, pemimpin sipil yang "lemah" dan cenderung kebarat-baratan, atau organisasi dunia yang disetir negara-negara maju.

Narasi perlawanan rakyat jelata yang dipimpin oleh "superhero" kaya raya macam Bruce Wayne / Batman ini memang menarik bagi kelas menengah bawah; apalagi di kebudayaan yang masih mengagungkan tokoh "big man" (orang kuat). Di Indonesia "orang kuat" ini dinilai dari latar belakang, sejarah atau citranya. Maka dari itu kita lebih memilih pemimpin yang berlatar belakang militer, atau pengusaha yang luar biasa kaya, atau punya trah bangsawan maupun politik.

Tapi kemudian anda bisa saja membantah: bangaimana dengan Jokowi? Oke, dia pengusaha, tapi kan apa artinya dibanding taipan kelas kakap ataupun senior-senior di partainya? Bukankah ia mengalahkan mantan jenderal dari keluarga penguasa orde baru? Benar, tapi lihat apa yang terjadi setelah ia menjabat. Orang-orang di sekitarnya (termasuk tapi tidak terbatas pada buzzer politik) membangun citra tegas. Menghadapi bandar narkoba, nelayan asing, ekstrimis, teroris, KKB, bahkan oposisi dan negara asing.

Perhatikan hampir setiap kritik atas pemerintah, atau warga yang protes karena terdampak proyek pemerintah (dan LSM yang mewakilinya) dengan cepat dicap oposisi ("kadrun"). Beberapa kali ada permasalahan, pemerintah menuding ada "mafia" (obat, BBM, minyak goreng dan lain-lain). Bahkan mereka sudah umum menggunakan jargon yang sangat digemari kubu Prabowo untuk menyebut lawan politiknya: "antek asing". Ide untuk memperpanjang jabatannya dibungkus dengan berbagai jargon nasionalisme.

Jokowi memang bukan "orang kuat" sejak awal. Tetapi setelah dipilih secara demokratis, ia dikelilingi orang-orang kuat dan orang-orang biasa yang membangun citra "kuat" pada dirinya. Kuat karena tidak ada yang berani melawan. Kuat karena harus melawan "musuh", "asing" dan "mafia".

Presiden Republik Indonesia bukanlah administrator publik yang dipilih secara demokratis dan diawasi kinerjanya, melainkan pemimpin besar yang diangkat rakyat sebagai "orang tua bangsa" yang akan melawan musuh-musuh negara. Ini bukan "salah" Jokowi; bangsa Indonesia memang belum bisa lepas dari narasi pemimpin yang demikian.

Jadi jika Jokowi yang sipil kelas menengah saja bisa dipoles sedemikian rupa, apalagi Terawan dan Putin yang lebih mentereng statusnya. Dan sebetulnya keduanya juga hanya sebagian kecil dari "orang-orang kuat" yang dinarasikan melawan hegemoni elit; mulai dari Habib Rizieq sampai Kim Jong-Un.

Narasi perlawanan semacam ini memang bukan hanya monopoli Indonesia, negara-negara Timur atau dunia ketiga saja. Sepanjang sejarah selalu saja ada sosok "mesianik" yang dianggap punya sumberdaya tak terbatas untuk melawan kezaliman elit penguasa. Amerika Serikat nyaris dihancurkan populisme Trump dengan narasi anti-sains dan anti-elitnya.

Bahkan Leninisme (tapi bukan Marxisme) -- yang memperjuangkan penghapusan kelas sosial -- menganjurkan adanya "kepeloporan" (vanguardisme) dalam perjuangan proletar, karena kebanyakan kaum tertindas (dianggap) tidak cukup intelek untuk mengobarkan revolusi; prinsip ini akhirnya mewujud menjadi partai pekerja (partai komunis) yang memimpin revolusi dan menjadi penguasa tunggal di banyak negara sosialis.

Sebenarnya jika konsep "orang kuat" ini disingkap lebih jauh, bisa jadi ada perlawanan yang lebih mengerikan daripada menghancurkan hegemoni elit; yaitu perlawanan terhadap sains dan demokrasi. Mengapa? Lihat saja argumen pembelaan Terawan selalu memakai "testimoni pasien". Apa bedanya dengan Mak Erot? Mengapa ketika dijelaskan dengan sederhana kalau uji klinis itu wajib hukumnya selalu ditentang dengan dalih "mematikan inovasi"? Mengapa ketika dijelaskan prinsip penularan virus dan cara kerja vaksinasi selalu dilawan dengan narasi "konspirasi raksasa farmasi"?

(Ada contoh yang sangat jelas: Ketika diberitakan dalam masyarakat Baduy masih belum terdeteksi ada penularan Covid-19, masyarakat menyimpulkan hal ini terjadi karena kesaktian "ilmu kebal" dan ramuan jamu mereka. Padahal jelas-jelas tetua adat mereka mengatakan bahwa kampung Baduy diisolasi total dan diterapkan prokes yang sangat ketat, dan seluruh warga Baduy patuh dan disiplin. Tetapi masyarkat kita tidak mau tahu.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun