Pendidikan yang bagaimana? Ya itu tadi, pendidikan yang menghasilkan kebebasan intelektual. Tetapi mengapa kebebasan intelektual malah membuat orang taat peraturan? Itulah pertanyaan orang yang pola pikirnya tidak cerdas. Orang yang bebas berpikir menaati peraturan bukan karena takut, tetapi karena melihat kepentingan bersama yang lebih besar: keselamatan berkendara, pelestarian lingkungan dan masa depan anak cucu bangsa.
Sebaliknya orang yang tidak cerdas selalu terbelenggu oleh nilai. Mereka tidak pernah melihat mengapa atau untuk apa suatu nilai diberlakukan, dipertahankan, disesuaikan atau dihilangkan. Mereka cenderung memilih yang nyaman dan aman bagi mereka. (Jangan salah, walaupun mengekang, agama atau budaya bisa saja nyaman bagi mereka karena alternatifnya dibuat menakutkan.) Akibatnya mereka tidak mau berubah, atau setidaknya jika itu mengusik kenyamanan mereka.
Seharusnya kita yang masih berpikir demikian malu pada suku-suku di pedalaman Nusantara. Anak-anak mereka dengan bersemangat mengenyam pendidikan tanpa melupakan tradisi. Bahkan tetua adat mereka yang kolot pun bisa dan mau menerima pendidikan. Mereka menjadi lebih bijak mengelola alam dengan menyatukan kearifan lokal dan ilmu pengetahuan. Mereka dapat memperjuangkan hak-hak mereka melalui cara yang beradab dan cerdas. Mereka diakui oleh dunia sebagai local genius.
Sementara kita yang sok tertindas dan mengasosiasikan diri dengan mereka, malah tidak mau belajar dan merendahkan pendidikan sebagai semata alat untuk mencapai status sosial. Kita menganggap kearifan kita itu sebagai penjaga kenyamanan hidup. Kita dengan bangga mencampuradukkan nilai budaya kita dengan modernitas dan hasilnya adalah chaos, tetapi ketika dinasehati orang asing, kita menertawakan dan melawan mereka.
Kalau sudah demikian, maka kita tidak pantas lagi disebut local genius, tetapi evil genius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H