Syahdan tersebutlah sebuah desa yang tentram dan damai di pelosok Nusantara bernama Bharakajaya. Penduduknya sangat ramah dan menjunjung tinggi nilai agama. Di desa itu hiduplah seorang anak bernama Adhyatmaja. Ia seorang anak lelaki yang gagah, cerdas, cerdik dan pemberani. Ia tinggal bersama dengan ayah, ibu dan seorang adik perempuan yang masih bayi bernama Adhyalakhsmi. Ia mempunyai seorang sahabat bernama Dhaniswara. Berkebalikan dengan Adhyatmaja, Dhaniswara bertubuh gendut, lugu, penakut dan bodoh. Dhaniswara sangat tergantung pada pertolongan Adhyatmaja dalam menghadapi banyak kesulitan.
Mereka juga berkawan dengan seorang anak kecil bernama Usapala. Walaupun miskin, Usapala sangat bersemangat dan sangat rajin beribadah. Bahkan ia dengan berani menasehati orang-orang dewasa dengan petuah agama yang ia dengar dari Sang Guru.
Di desa itu tinggal juga seorang lelaki bernama Jarahwana. Sebetulnya ia tidak jahat, tetapi sering berbuat onar. Kerjanya tiap hari hanya serabutan saja, mengharap upah dari hasil membantu sana-sini, itupun tak pernah beres dikerjakannya. Bukannya meringankan pekerjaan orang lain, seringkali keadaan lebih kacau dibuatnya. Jarahwana mempunyai seorang ‘tangan kanan’ bernama Bhutasapa. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, tetapi bodoh dan lamban. Bhutasapa kerap kali ketiban pekerjaan yang lebih berat jika Jarahwana dimintai bantuan oleh orang lain.
Suatu ketika seorang anak di desa itu hendak pergi bermain, tetapi tubuhnya kurang sehat. Ibunya memberinya ramuan ajaib sehingga anak itu menjadi sehat dan kuat kembali.
Jarahwana sering membantu di rumah Jianglong, seorang saudagar Tionghoa. Sebetulnya selain mengharapkan upah dari Jianglong, ia juga mencuri-curi kesempatan untuk mendekati Maychan, putri Jianglong yang cantik jelita. Akibatnya pekerjaan Jarahwana sering tidak selesai dan ia pun dimarahi Jianglong.
Jarahwana sering membuat onar karena lebih mengharapkan uang daripada menuntaskan pekerjaannya. Hal ini tidak luput dari perhatian Adhyatmaja. Dengan kecerdikannya Adhyatmaja selalu mencari akal supaya Jarahwana tidak membuat masalah. Tentu saja Jarahwana kesal. Jika kekesalannya memuncak, ia akan memarahi Adhyatmaja atau bahkan (menyuruh Bhutasapa) mengejarnya. Ini membuat takut Dhaniswara yang dengan gemetar minta tolong pada Adhyatmaja.
Di tengah situasi demikian, seorang anak melarikan diri dari kekacauan itu. Ketika napasnya mulai terengah-engah, ia minum ramuan ajaib. Seketika itu juga ia mampu berlari kencang.
Jarahwana selalu membuat kekacauan sehingga keadaan menjadi genting. Untunglah ketika kegentingan memuncak, muncullah Sang Guru Maswara. Ia adalah pemimpin desa dan pemuka agama yang bukan hanya suci, tetapi juga sakti. Ia mengerti bahasa hewan, bahkan bisa memahami Adhyalakhsmi yang masih berbicara bahasa bayi. Ia mampu mengendarai kuda melompati gunung yang tinggi. Dan ia selalu datang di saat yang tepat, menengahi perkara yang disebabkan Jarahwana dan menegur kesalahan-kesalahannya. Dengan kehadirannya, seluruh desa tentram kembali.
Dan begitu seterusnya sampai lebih dari dua puluh kali.
***
Mungkin anda sudah bisa menebak, atau masih bingung, cerita rakyat dari daerah atau suku apa ini? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah: adaptasi dari film kartun “Adit, Sopo & Jarwo”.
Desa Bharakajaya adalah Kampung Karet Berkah, kampung fiktif di Jakarta yang menjadi setting film tersebut. Penduduknya sangat religius karena sedikit-sedikit menggunakan jargon agama yang sedang laku keras di sinetron Indonesia. Adhyatmaja adalah Adit, yang mempunyai adik bayi bernama Adel (“Adhyalakhsmi”). Ayah dan ibu mereka mewakili keluarga ‘ideal’: suami bekerja tapi pelupa dan canggung mengurus anak, istri jadi ibu rumah tangga yang berbisnis di rumah dan minta macam-macam ke suami. Adit berteman bernama Denis (“Dhaniswara”) yang digambarkan secara kasar dengan stereotip anak gendut, nerdy dan penakut. Sasaran empuk untuk di-bully.
Sahabat mereka si Usapala alias Ucup yang lebih kecil dan miskin mengingatkan kita pada Da’i cilik berlatar belakang keluarga kurang mampu, tetapi bisa berkotbah dengan penuh semangat, atau jagoan-jagoan cilik yang religius di sinteron anak-anak.
Dan tentu saja ada Jarwo (“Jarahwana”) dan Sopo (“Bhutasapa”), reinkarnasi Pak Ogah dan Pak Ableh dalam bentuk baru yang entah kenapa lebih vulgar. Saya juga bingung kenapa setelah lebih dari dua puluh episode, warga kampung itu masih saja mempercayai jasa mereka. Jujur saja, saya lebih percaya pak Ogah. Biaya jasanya pun lebih murah. (“Cepek dulu dong.”*)
Tentu saja untuk menggambarkan “keanekaragaman” suku di nusantara (supaya tidak kalah dengan Upin & Ipin), ada tokoh dari suku lain seperti Mang Ujang tukang bakso (Kenapa dia tidak jualan siomay, lumpia basah atau kupat tahu? Lagipula bakso paling enak itu bukan bikinan orang Sunda, tapi Wonogiri.), Bang Anas yang orang Batak (saya tahu logatnya dibuat-buat karena saya suka makan di lapo) dan Baba Chan (“Jianglong”) yang setelah bertahun-tahun menetap di wilayah Jakarta yang jauh dari Glodok atau Kota masih tidak hilang logat Hokkian-nya, demi mewakili stereotip monoritas orang Tionghoa. (Mustahil, karena Ahok yang masih “China totok” Sumatera saja tidak demikian.)
Di tengah-tengah cerita (sering lebih dari sekali) muncul pesan sponsor dari sang dukun ramuan ajaib, alias produsen vitamin anak-anak yang dengan vulgar merusak jalan cerita dengan iklan terselubung tapi sekaligus telanjang bulat. Lagi-lagi tepat seperti kebanyakan sinetron, reality show dan bahkan film bioskop Indonesia yang haus kucuran rupiah dari sponsor.
Dan tentu saja, cerita tak akan lengkap tanpa deus ex machina: Sang Guru Maswara alias Bang Haji Deddy Mizwar yang menjadi ketua kampung dan ulama setempat. Pemimpin rakyat sekaligus pemimpin agama. Ia tahu segalanya, bahkan mengerti bahasa bayi si Adel. Ia jago segalanya: mampu memperbaiki motor Jarwo yang rusak, dan mengendarainya dengan akrobatik seperti Evil Knievel. Di saat genting, ia selalu datang menyelesaikan masalah, menegur Jarwo dan memberikan petuah agama yang jelas dan tanpa tedeng aling-aling sehingga orang bodoh saja langsung mengerti, sementara yang sudah mengerti diingatkan lagi dan lagi.
Dan begitu seterusnya sampai lebih dari dua puluh episode...
Sayang sekali, padahal kualitas grafisnya sangat baik. Anak saya yang baru dua tahun juga senang melihatnya, apalagi adegan kejar-kejaran Jarwo dan Adit. Apakah kritikan ini karena saya tidak cinta produk dalam negeri? Sebaliknya, ini masukan saya supaya film yang bagus ini bisa lebih baik: bisa lepas dari stereotip agama, suku, fisik, dan perilaku; lepas dari belenggu komersialisasi sponsor; mendidik tetapi tidak menggurui; dan memiliki perkembangan jalan cerita yang lebih dinamis dan kreatif, bukan sekedar ada masalah-konflik-klimaks dan selalu diakhiri dengan deus ex machina yang kelewat mujarab untuk menutup cerita.
*Tidak memperhitungkan inflasi sejak jaman penayangan film Si Unyil, yang menurut saya punya jalan cerita jauh lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI