Hari demi hari kerut di dahiku bertambah, ada teka-teki yang tak bisa kuraih sebagai pengawas demokrasi. Namun, rasa penasaran ini tidak bisa hilang begitu saja. Informasi yang terkumpul mulai memenuhi kepalaku hingga terbawa mimpi berhari-hari.
Saat itu, beredar kabar ada sebuah koalisi yang diisi tiga partai hendak menggandeng seorang tokoh pilihan presiden. Kabarnya, 'si rambut putih' yang saat itu dekat dengan presiden akan dicalonkan. Kabarnya, presiden yang dijuluki sebagai Pak Lurah akan memberi dukungan bersama tiga partai politik di parlemen.
Isu seputar Pak Lurah bersama tiga partai yang ingin membuat boneka dari kader merah membuat gempar tanah air. Namun, ibu dari para banteng tak tinggal diam. Ia ambil keputusan yang tak mudah. Akhirnya, ia harus meninggalkan anak sendiri agar kadernya tak diambil orang.
Ironisnya, kabar itu turut disambut dengan isu presiden yang tak mengindahkan seorang kandidat. Sosok itu dicalonkan oleh partai politik yang turut mendukung Pak Lurah sebelumnya. Orang yang tak diinginkan Pak Lurah berkontestasi itu juga sempat menjadi saksi di lembaga antirasuah untuk memberikan keterangan soal dugaan korupsi ajang balap mobil.
Sayangnya, hal itu justru membuat lembaga antirasuah dicemooh orang-orang. Masyarakat menganggap lembaga itu sedang mencari cela dan ikut dalam sekenario yang dibuat Pak Lurah. Namun, kontestan yang dikabarkan akan menjadi tersangka itu tetap dicalonkan, apa karena lembaga anti korupsi tak menemukan bukti?
Sementara itu, kubu garuda terlihat santai. Mereka tak memilih dan telah memantapkan tujuan, yakni 'memajukan sang jenderal' untuk berkontestasi sekali lagi. Lantas, bagaimana dengan tiga partai yang tak memiliki kandidat untuk dicalonkan? Rupanya Pak Lurah menggabungkan tiga partai itu dengan garuda belakangan.
Saat itu, hatiku mulai resah karena partai-partai politik kini harus membentuk koalisi demi mencalonkan presiden dan wakil presiden. Selain memperbesar jaringan dan meraup suara, koalisi juga akan menentukan siapa yang akan maju sebagai perwakilan dan dikontestasikan.
Mulai saat itu utak atik koalisi dan peta kemenangan dihitung. Tiga sosok kandidat sudah mulai diperkenalkan. Namun, mereka harus menemukan pasangan yang tepat agar menjadi pemenang meski tak ada jalan mulus untuk mendapatkan calon pendamping.
Koalisi mulai sulit diprediksi, siapa yang akan mundur dan mengisi? Mulanya, muncul dugaan koalisi di kubu pertama akan solid. Sayang sekali perpecahan terjadi di antara mereka. Kabarnya, terjadi pertikaian internal koalisi terkait siapa yang akan menjadi calon wakil presiden.
Di sisi lain, koalisi kedua juga mengalami kesulitan yang sama dalam memilih calon wakil presiden. Sepertinya sang jenderal memperkirakan kekalahan, sehingga ia tak ingin anak kiai menjadi pendamping dalam pertarungan politik berdasarkan hitung-hitungan.
Untungnya, tiga partai parlemen yang sempat kehilangan calon presiden mulai melirik garuda. Mereka memutuskan untuk bergabung dan membuat koalisi. Ketiganya bekerja sama untuk menggodok sosok, siapa yang akan mewakili mereka dalam pertarungan itu?