1. Utopia Demokrasi dalam Negara Pancasila
Sebelum membahas lebih lanjut, seyogyanya kita memahami terlebih dahulu mengenai makna kata "Utopia". Utopia adalah konsep ideal (khayalan) mengenai masyarakat yang dalam segala aspek kehidupan mengalami kesempurnaan dan tanpa masalah atau kekurangan. Istilah ini merujuk pada buku Thomas More yang berjudul "Utopia" yang menggambarkan bagaimana sebuah visi ideal yang seringkali sulit atau bahkan tidak mungkin dicapai dalam kenyataan, namun difungsionalkan sebagai inspirasi atau panduan untuk memperbaiki kondisi yang ada.
Demokrasi adalah sebuah istilah dari, oleh dan untuk rakyat. Secara utopis, demokrasi dalam Negara Pancasila adalah sebuah visi ideal di mana prinsip-prinsip Pancasila diterapkan secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam utopia ini, kedaulatan rakyat diwujudkan secara bulat melalui partisipasi aktif setiap warga negara dalam proses politik. Setiap keputusan diambil melalui musyawarah mufakat, sesuai dengan sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan." Tidak ada suara yang diabaikan, dan setiap kepentingan individu dihormati dengan adil dan bijaksana.
Selain itu, dalam utopia ini, keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan dalam sila kelima," benar-benar terwujud.Â
Tidak ada kesenjangan ekonomi yang mencolok, dan setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja. Semua kebutuhan dasar terpenuhi, sehingga setiap orang dapat hidup dengan martabat dan kesejahteraan. Persatuan Indonesia, sesuai dengan sila ketiga, menjadi fondasi yang kuat dalam masyarakat utopia ini.Â
Keberagaman budaya, agama, dan etnis dihargai dan dijunjung tinggi. Setiap warga negara saling menghormati dan hidup dalam harmoni, menjaga kesatuan bangsa dengan semangat gotong royong. Kebebasan berpendapat dijamin, tetapi selalu diiringi dengan tanggung jawab untuk menjaga kedamaian dan kesejahteraan bersama. Dalam utopia demokrasi Pancasila, setiap individu dan komunitas berkontribusi pada pembangunan bangsa yang adil, makmur, dan berdaulat.
2. Â Pendalaman atas makna "Autocratic Legalism"
Autocratic Legalism berasal dari dua suku kata, yaitu otokrasi yang bermakna suatu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan satu orang atau kelompok kecil. Ini berbeda dengan demokrasi yang menempatkan kekuasaan di tangan banyak orang melalui proses perwakilan dan partisipasi.Â
Kemudian legalism bermakna suatu konsep di mana segala sesuatu yang diberlakukan sebagai hukum negara dianggap sah dan memiliki legitimasi. Dalam konteks Autocratic Legalism, hukum digunakan untuk melegitimasi tindakan otokratis, meskipun tindakan tersebut mungkin tidak adil atau melanggar hak asasi manusia.
Bahaya utama dari Autocratic Legalism adalah ia memberikan kesan bahwa segala sesuatu yang dilakukan pemerintah sah karena sesuai dengan hukum negara. Ini dapat mengarah pada penerimaan tanpa kritik terhadap undang-undang dan kebijakan yang sebenarnya merugikan hak-hak individu dan mengonsolidasikan kekuasaan otokratis.
Bivitri Susanti dalam pembelajarannya pernah mengungkapkan, bahwa ciri-ciri Autocratic Legalism adalah sebagai berikut:
- Penggunaan Hukum untuk Melegitimasi Kekuasaan, yang berarti hukum digunakan untuk memberikan legitimasi pada tindakan pemerintah, meskipun tindakan tersebut mungkin tidak adil atau melanggar hak asasi manusia.
- Penggunaan Hukum untuk Menghancurkan Institusi Pengawas, yang berarti Institusi yang seharusnya mengawasi pemerintah dilemahkan melalui perubahan hukum atau kebijakan.
- Penggunaan Hukum untuk Mengontrol Masyarakat Sipil yang berarti, Hukum digunakan untuk menekan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berorganisasi.