Entah siapa yang memulai memanggilnya Si Mulut Besar. Tidak anak-anak, tidak orang tua, semua mengenalnya demikian. Bukan panggilan penghormatan bukan pula ia anggap sebagai panggilan menghinakan. Semacam nama yang telah tersemat sejak dia lahir. Sesungguhnya, nama lahir yang ia miliki tidaklah buruk. Hanya sudah tenggelam seiring dengan tubuhnya yang semakin berumur. Perawakannya sangat biasa saja, pundaknya bungkuk, kalau berjalan sedikit pengkor. Punggung kakinya mekar dengan jari-jari renggang menganga.
Mulutnya, ya, mulutnya! Orang-orang terbiasa mencemoh ia sebagai titisan Semar. Bahkan jika Semar bisa memakan gunung tapi tiada bisa memuntahkan kembali, maka Si Mulut Besar sanggup memakan gunung beserta laut seisinya, begitu olok-olok orang padanya. Tak pula sekalipun nampak gurat sakit hati di wajahnya. Mulutnya yang lebar seperti tertarik ke atas, bak selalu mengukir senyum. Tapi begitulah ia. Selamanya orang mengenalnya sebagai Si Mulut Besar.
Ia mahir berbual. Jika di lapo kopi telah hadir ia, maka ramailah terdengar gema bahak dari tawa-tawa kering pendengar setianya. Pelayan kopi pontang panting menyajikan kopi yang tak kalah pahit dari kehidupan mereka sendiri. Tapi berkat cerita dahsyat dari Si Mulut Besar, maka nikmatlah rasa kopi tadi.
Belakangan, orang sekampung geger hanya karena cerita yang ia ceritakan di hadapan orang selapau. Dia bercerita tentang kematian. Kematian yang tak tanggung-tanggung. Tentang kematian Nurmala Darmi yang menggantung diri di pohon ketapang dengan tali pengikat sampan milik suaminya. Suaminya, yang tidak sanggup menanggung aib ulah Nurmala Darmi yang memalukan, melarikan diri bersama bayi mereka yang belum sempurna putus pusarnya. Lalu kemudian mati tenggelam tersangkut di akar bakau dengan bayi digendongannya.
“Sahabatku yang budiman, akulah yang akhirnya menggali kubur Nurmala Darmi. Rojak dan Rifai yang pula kalian pikir menemaniku sampai selesai, telah terbirit sebelum jenazah perempuan itu diantarkan setelah Maghrib.” Begitu yang Si Mulut Besar katakan. Yang disebut namanya menunduk dalam. Setunduk tunduknya tunduk menahan panas di muka. Malu!
Kematian Nurmala Darmi tentulah menjadi kematian yang penuh sensasi. Karena kematian dengan merenggut nyawa sendiri tiada lain adalah kematian yang disusupi syaitan. Kematian yang tidak diterima tanah, konon begitu adanya. Maka, gemparlah kampung dengan kisah Nurmala Darmi ini selama berpekan-pekan.
Di pekan selanjutnya setelah kisah Nurmala Darmi meredup, berkisah pula Si Mulut Besar tentang kambing jantan milik Tuan Tengkulak yang tidak disentuh sedikitpun oleh tamu undangan di acara Akikah anak bontotnya. Kambing yang telah menjadi gulai itu kabarnya menjadi penyebab kematian Haji Sake yang tengah bersepeda di senja hari menuju surau untuk mengumandangkan adzan. Kambing milik Tuan Tengkulak, putus talinya dan menyeruduk apa saja di depannya. Nahas, Haji Sake yang bernasib malang. Matilah ia meregang nyawa di hadapan kambing Tuan Tengkulak.
Tak pelak, kisah meninggalnya Haji Sake kembali menjadi buah bibir. Betapa orang sekampung sangat kehilangan. Tiada semangat mendatangi surau karena gema adzan tak lagi merdu mendayu. Anak-anak malas mengaji, bapak-bapak enggan berjamaah dan ibu-ibu tak sudah tangisnya membayangkan kemuraman hati keluarga Haji Sake yang ditinggal imamnya. Berbulan-bulan, zikir dan doa dilantunkan mengantar kelancaran jalan Haji Sake ke haribaan Tuhannya.
“Kelak, aku ingin mati dengan kematian yang menggemparkan, nCik.” Begitu kata Si Mulut Besar pada lelaki di sebelahnya, sepulang dari lepau.
“Jaga mulutmu, Mulut Besar. Sungguh tak ada faedahnya engkau berkata begitu!” Sergah lelaki itu.
Si Mulut Besar tergeming. “Aku tak berharap banyak. Cukup ada yang mengingat barang seminggu dua minggu saja. Tapi tentu saja harus menggemparkan, membuat geger, kawan! Apa baiknya aku lakukan?”
Alhasil, kisah atas keinginan kematian yang tengah dirancang Si Mulut Besar merisaukan banyak orang. Jikalaulah Si Mulut Besar pada akhirnya akan mati, siapa lagi yang akan menjadi pencerita di kampung mereka. Andaikanlah Si Mulut Besar berhasil merancang kematiannya, maka kematian yang seperti apa yang akan ia dipilih agar selalu melekat di pikiran orang-orang. Misalkan saja Si Mulut Besar mati, maka sebesar apakah rasa malu yang akan ditanggung penduduk kampung atas pilihan sesat Si Mulut Besar? Riuh rendah omongan orang akan niat sesat Si Mulut Besar.
Pemilik warung, Rojak, Rifai, hingga pengetua kampung telah pula menemui Si Mulut Besar agar ia berbesar hati mengurungkan niat kematiannya. Kalaupun saja ia ingin mati, maka janganlah memilih kematian yang tiada wajar, Mulut Besar. Merugi engkau nanti. Tak baik, tak pula elok. Begitu nasihat orang padanya. Si Mulut Besar hanya tersenyum, makin lebar pula mulutnya tertarik ke samping. Hampir separuh pipinya dipenuhi gurat bibir. Menakutkan.
Tiap tindak tanduk Si Mulut Besar menjadi pantauan. Jika ia ke kebun, maka akan was-was tetangga kebunnya. Jika ia ke sungai menangguk udang, maka khawatirlah orang yang melihatnya. Jika pula seharian ia di rumah, maka orang memasang kuping dan mengendus, seakan-akan cemas jika akhirnya ia telah menenggak potas lantas mati tak berwasiat, tak bertalkin.
Berbilang hari orang menyimpan cemas akan Si Mulut Besar. Apa gerangan yang telah direncanakan pria itu, tak pernah nampak ia di lapo. Pun pintu rumahnya yang memang jarang terbuka menjadi buah bibir. Bisik-bisik orang ramai, mirip dengungan kawanan lebah. Tidak jelas tapi memekakkan.
Anak sulung mendiang Haji Sake yang biasa ke kota menjajakan dagangannya tak juga melihat Si Mulut Besar padahal dia lah yang terakhir melihat Si Mulut Besar memanggul dagangannya ke atas truk. Menghilangnya Si Mulut Besar benar-benar menggemparkan.
Hingga pada satu malam di musim hujan yang menggila, Si Mulut Besar mampir ke lapo, diterangi redup teplok, Si Mulut Besar memesan kopi panas pahit ukuran besar. Tak ramai pengunjung kala itu, hanya si pemilik kedai, pelayannya, Rojak yang habis pulang keliling kampung lalu tiga orang tua yang tengah bermain catur. Mereka terperanjat setengah mati memandang wajah Si Mulut Besar. seakan tak percaya, Eureka!!
Tak jadi mati rupanya kau, Si Mulut Besar.
Ah, nampaknya mati itu perkara gampang, nCik.
Kau telah berhasil menghidupkan kematianmu yang tak jadi, Mulut Besar.
Aku hanya bergurau, bagaimana bisa dianggap serius, Jak.
Apa yang kau lakukan selama kami meributkan kematianmu, hai Mulut Besar?
Aku sedang mengatur siasat. Membalikkan keinginan.
Bah! Apa lagi pula itu?
Aku telah berhasil menjadi buah bibir semasa hidup.
Lalu?
Lalu, aku akan mati dengan tenang tanpa sepengetahuan kalian.
Lalu?
Aku tak jadi ingin mati.
Kenapa? Bukankah kau ingin mati dan dibicarakan?
Sekarang, aku hanya ingin hidup dan dibicarakan lalu mati akan diingat.
Dasar kau Si Mulut Besar, Mulut Besar!
Mereka tertawa.
Si Mulut Besar yang mahir berbual, yang telah berbilang hari tidak pulang dari kota sepulang berdagang merisaukan hampir orang sekampung. Kini, telah pula kembali dengan niat yang baru.
Tiada yang tau, bahwa ia telah bertemu Haji Sake dan menyaksikan kebahagiaan Nurmala Darmi saat menyusukan bayinya dan suami dari Nurmala Darmi, berpesan pada dirinya: bahwa mati tidak hanya sekadar mati lalu tuntas urusan.
Mati hanya akan menjadi permulaan suatu masalah baru. Maka jika belum siap bermasalah, maka tetap lah hidup selama mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H