Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kematian yang Direncanakan

29 Januari 2016   22:00 Diperbarui: 30 Januari 2016   01:17 1602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alhasil, kisah atas keinginan kematian yang tengah dirancang Si Mulut Besar merisaukan banyak orang. Jikalaulah Si Mulut Besar pada akhirnya akan mati, siapa lagi yang akan menjadi pencerita di kampung mereka. Andaikanlah Si Mulut Besar berhasil merancang kematiannya, maka kematian yang seperti apa yang akan ia dipilih agar selalu melekat di pikiran orang-orang. Misalkan saja Si Mulut Besar mati, maka sebesar apakah rasa malu yang akan ditanggung penduduk kampung atas pilihan sesat Si Mulut Besar? Riuh rendah omongan orang akan niat sesat Si Mulut Besar.

Pemilik warung, Rojak, Rifai, hingga pengetua kampung telah pula menemui Si Mulut Besar agar ia berbesar hati mengurungkan niat kematiannya. Kalaupun saja ia ingin mati, maka janganlah memilih kematian yang tiada wajar, Mulut Besar. Merugi engkau nanti. Tak baik, tak pula elok. Begitu nasihat orang padanya. Si Mulut Besar hanya tersenyum, makin lebar pula mulutnya tertarik ke samping. Hampir separuh pipinya dipenuhi gurat bibir. Menakutkan.

Tiap tindak tanduk Si Mulut Besar menjadi pantauan. Jika ia ke kebun, maka akan was-was tetangga kebunnya. Jika ia ke sungai menangguk udang, maka khawatirlah orang yang melihatnya. Jika pula seharian ia di rumah, maka orang memasang kuping dan mengendus, seakan-akan cemas jika akhirnya ia telah menenggak potas lantas mati tak berwasiat, tak bertalkin.

Berbilang hari orang menyimpan cemas akan Si Mulut Besar. Apa gerangan yang telah direncanakan pria itu, tak pernah nampak ia di lapo. Pun pintu rumahnya yang memang jarang terbuka menjadi buah bibir. Bisik-bisik orang ramai, mirip dengungan kawanan lebah. Tidak jelas tapi memekakkan.

Anak sulung mendiang Haji Sake yang biasa ke kota menjajakan dagangannya tak juga melihat Si Mulut Besar padahal dia lah yang terakhir melihat Si Mulut Besar memanggul dagangannya ke atas truk. Menghilangnya Si Mulut Besar benar-benar menggemparkan.

Hingga pada satu malam di musim hujan yang menggila, Si Mulut Besar mampir ke lapo, diterangi redup teplok, Si Mulut Besar memesan kopi panas pahit ukuran besar. Tak ramai pengunjung kala itu, hanya si pemilik kedai, pelayannya, Rojak yang habis pulang keliling kampung lalu tiga orang tua yang tengah bermain catur. Mereka terperanjat setengah mati memandang wajah Si Mulut Besar. seakan tak percaya, Eureka!!

Tak jadi mati rupanya kau, Si Mulut Besar.

Ah, nampaknya mati itu perkara gampang, nCik.

Kau telah berhasil menghidupkan kematianmu yang tak jadi, Mulut Besar.

Aku hanya bergurau, bagaimana bisa dianggap serius, Jak.

Apa yang kau lakukan selama kami meributkan kematianmu, hai Mulut Besar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun