Pertama-tama saya sangat bersyukur atas hadiah dari seorang teman atas Antologi Puisi 'Kaki Waktu' yang saya terima minggu kemarin. Jelas saya senang. Lalu apa yang saya rasakan setelah membaca buku tadi? Entahlah. Yang pasti ada semacam kepuasan dalam beberapa puisi yang mewakili perasaan saya di dalamnya.
Antologi Kaki Waktu yang memuat delapan puluh empat karya pilihan dari dua belas penulis muda Makassar yang kesemuanya perempuan, serupa bentuk pengeksistensian diri yang tenggelam di tengah nama-nama besar penyair lelaki yang mendominasi di negeri ini.
Andi Tenriola, Dalasari Pera, Darmawati Majid, Dhida Alwi, Eka Fitriani, Handayani Utamy, Inayah Mangkulla, Madia Gaddafi (Nuri Nura), Mariati Atkah, Meike Lusye Karolus, Rahiwati Sanusi, Reni Purnama.
Mereka, kedua belas perempuan di atas, hadir dengan beragam 'rasa' yang mereka wakili di tiap-tiap puisi yang mereka tawarkan. Mereka mengungkapkan rasa dengan cara sederhana yang mudah dipahami. Simpel, tidak bertele-tele, dan sangat 'sopan' bahkan dalam melakukan kritik terhadap keadaan yang telah porak-poranda sekalipun.
****
"Kalau aku pulang
Kau aka kujumpai di awal senja
Dan menceritakan semuanya
.......
Tapi bagaimana jika aku tidak pulang?
Apakah kau masih mau menunggu
Hingga sudut petang hilang
Di dekat Tugu Layar Tanjung Bayang?
......" (Tugu Layar Tanjung Bayang. Hal.90)
"Hendak lari ke lampau yang telah terlalui
Teringat ibu yang kerap merajang sayur
.......
Koloni menghendakinya jadi kenangan
Yang lempang
Semenjak kemasan-kemasan
Bertuan di dapur
Sejak waktu mencuri pelan." (Sejak kemasan Bertuan di Dapur. Hal.122)
"Kepada anakku Samijun, segeralah pulang. Mata emak
telah rabun. Tak mampu lagi melihat rindu." (Telegram Rindu, 1. Hal 128)
****
Begitu tiga puisi yang saya petik sekenanya. Antologi ini berupaya menyajikan mozaik perjalanan rasa dengan cukup lengkap. Menawarkan berbagai jenis latar nada ragu dan gamang dalam cinta, berbagai protes terhadap kekinian negeri, tentang nasib orang-orang pinggiran yang terusir, hingga kesiapan bertemu Sang Khalik.
Sekalipun dunia sastra puisi cukup ramai dan meriah dengan karya-karya yang penting dan menarik dari tangan sastrawan-sastrawan besar kenamaan, tidak berarti pula puisi karya penulis yang lahir dari seorang blogger dianggap sebelah mata dan dibaca sepintas lalu. Semua telah dijawab dalam 138 halaman buku ini.
Mereka, para penulis Kaki Waktu ini seolah punya ikatan emosional yang mampu menyatukan mereka dalam  rasa yang kompleks. Sudah bukan waktunya lagi mengkhawatirkan kesulitan menulis antologi -apapun bentuknya-membutuhkan waktu yang lama untuk menyamakan  ide dan pikiran atau mencemaskan remeh-temeh tempat berkumpul yang tepat untuk saling berdiskusi.
Kedua belas penulis perempuan ini telah mematahkan hal tersebut. Lewat jejaring sosial di kotak virtual masa kini yang tersohor, mereka mulai dari awal hingga menghasilkan Kaki Waktu yang telah siap untuk dinikmati siapa saja.
Untuk terakhir kali, saya sangat senang dan bersyukur bahwa beberapa dari penulis muda berbakat asal Makassar ini adalah teman-teman dekat yang telah kita kenal baik sebelumnya. Mereka yang tak banyak bicara dan tak gembar-gembor sana-sini, tiba-tiba hadir dengan kejutan yang mencengangkan! Aih!
Mengutip perkataan Taufik Ismail dalam Kata Pembuka di antologi Sastra Horison halaman xxiii,, "Makin banyak antologi karya yang diterbitkan, dengan bermacam pendekatan dan tujuan, tentu makin baik karena masyarakat jua yang diuntungkan dengan bacaan-bacaan bermutu." Sekali lagi, Selamat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H