Aku harus bisa menghabisi Widyatmoko dalam tiga hari kalau tak ingin dua ratus juta berpindah tangan pada orang lain. Jujur saja, hati kecilku masih berontak. Kenapa harus orang ini? Sungguh, aku tak habis pikir.
Teringat sehari lalu saat kami bertabrak bahu, yang tentu saja sudah kurencanakan dari awal. Berlembar kertas penting miliknya berhamburan, terserak begitu saja. Tak kubantu dia memungutu kertas itu.
" maaf." Ujarku pendek.
Dia tak menjawab, hanya tersenyum dan menepuk pundakku. Ya Tuhan, baru kali ini aku merasa berat untuk membunuh target. Tunggu! Merasa berat? Bukan cuma itu, aku merasakan sesuatu yang menjalar di otak, lalu seperti ada aliran panas dalam darah, melolosi persendianku. Untuk berdiri saja aku gemetar. Apa ini?
" Bagaimana? Kapan kau selesaikan kerjamu?" Suara lewat tepon selulerku terdengar agak serak. Pertanyaan yang menuntut penyelesaian secepatnya.
" Sabarlah. Aku belom lagi dapat celah. Jangan khawatir, empat hari ini sudah beres " Klik. Sumber suara terputus.
Empat hari lagi! Sehari lalu juga kujanjikan begitu, padahal sampai sekarang aku masih belum melakukan apa-apa selain membaca kertas yang kucoret-coret semalaman.
Nama, Widyatmoko. Usia, awal empat puluh.
Ini hari pertama aku membuntuti kegiatan Widyatmoko sehari penuh. Berharap ada celah untuk mencelakainya. Tak seperti perkiraanku sebelumnya, membunuh lelaki satu ini tak semudah yang kubayangkan.
Seperti sekarang, aku duduk di sebelah lelaki ini, kutawarkan rokok
"Saya ndak merokok, mas. Terima kasih." Santun sekali penolakan itu, sedikit pun aku tak tersinggung.