Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta dalam bakso.

13 Maret 2011   14:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:49 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Bagaimana kalau kita berjualan bakso saja? Aku berjualan bakso dirumah dan kau berjualan berkeliling?  Bagaimana Daeng? " Narmi merayu suaminya, kehidupan lebih baik adalah mimpi tiap manusia.

" Aku ini Makassar, Narmi. Bukan Jawa, tak kukuasai bagaimana meracik bumbu yang benar. Mengerti mami' ki kodong." Matulla beringsut dari tidurnya. Usul Narmi benar-benar tak masuk akal. Harga diri Matulla tergadai.

*****

Lima bulan berlalu sayang. Keberadaanmu tak lagi kuketahui kini. Sedang waktu kian menggerus keinginan kita. Lalu, masihkah kau memikirkan mimpimu kini? Mimpi kita?

Bahkan aku tak sanggup memulai. Ketiadaanmu menghancurkan keinginan kita, sayang. Tapi, aku sudah berjanji pada langit dan bumi tempat kita berpijak, tempat kau pernah menghabiskan waktu di gubuk tuaku. Tempat kau sering memilin-milin bakso buatanku saat kau ingin menyantapnya, dan tempat kau menangis sesunggukan saat meminta mengikhlaskan kepergianmu. Katamu, kelak kau akan kembali jika mimpimu bisa kuwujudkan.

Mimpi itu hampir nyata kini. Seorang Makassar penjual bakso ternyata tak begitu buruk. Seperti kata yang sering kau ucapkan sambil mengelus pundakku, dulu sekali. Memberikan kekuatan pada bahuku, menjalarkan semangat hingga ke kakiku.

Mimpi kita hampir nyata kini. Katamu, kelak kau akan kembali jika mimpimu bisa kuwujudkan. Sampai sekarang, aku hanya bermain dengan kenangan dan bayangmu di tiap sudut gubuk kita ini. Gubuk yang perlahan ku ganti dengan rumah yang kau inginkan. Tempat dimana ada anak-anak berkejaran ramai sekali. Anak-anak kita,sayang.

*****

Hidup selalu soal pilihan. Jika tak sanggup memilih, maka bersiaplah menjadi korban dalam pertarungan waktu dan nasib. Hidup bukan bukan lotre. Hidup lebih mirip abu dalam sekam. Perlahan, namun jika kau tak cepat menyadari, habislah hidupmu.

" Hutang umak ke Madit dah betumpuk. Dia cuma nak kawin ngan kau, Narmi. Niatnya tulus." Umak tak sanggup melanjutkan ucapannya. Narmi merenungkan nasib dan cintanya. Begitu juga dengan keadaan dan keinginan umak yang tak mungkin ditolak.

Hidup selalu tentang pilihan yang tak pernah membiarkan Narmi memiliki semua inginnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun