Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta dalam bakso.

13 Maret 2011   14:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:49 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_94240" align="alignleft" width="271" caption="Gambar dioprek dari: inadwiana.wordpress.com"][/caption]

Hidup selalu soal pilihan dan sering tak memberi kita kebebasan memiliki semua yang kita harapkan. Begitu juga dengan mimpi. Berapa banyak mimpi yang tersingkir demi satu pilihan mutlak? Hidup  tak seperti judi. Yang jika kau sudah mahir bertaruh, maka peluang menangmu semakin besar. Hah!

Hidup lebih mirip dengan mata dadu. Karena begitu dilempar, maka biarkan saja udara yang menentukan angka yang akan muncul. Dan siapkanlah jantung untuk tak berdetak barang beberapa lama.

Hidup bukan tentang pertaruhan, tapi lebih pada kesiapan. Dan kesiapan inilah yang yang tak dimiliki sebagian orang.

Seperti Narmi, perempuan yang dikhianati pilihan. Waktu dan pilihan  telah membunuh semangat hidupnya satu persatu. Perlahan namun pasti.

" kalo kau sudah tak tahan, baek kau tinggalkan saja laki kau tu. Laki tak berguna macam tu asik je kau pertahankan." Narmi terdiam menunduk mendengarkan Umak mengoceh. Terbersit hatinya untuk sekedar menyangkal. Tapi tak jadi.

" Kita ni memang tak kaya betol, tapi tak  pernah juga kau hidup susah sampe tak makan macam ni. Tengok badan kau tu, dah kurus tak terawat. Dah macam ikan asin didiang matahari! " Narmi makin tertunduk dalam. Digenggamnya tangan Matulla erat.

" Dan kau, Matulla! Tak bemalu betol. Harusnya sebagai laki Narmi, kau kesini membawa beras. Bukannya meminjam uang." Kali ini umak menuangkan marahnya pada Matulla, suami Narmi.

" Mulai besok, baek kalian urus surat cerai.." Jelas Matulla kaget.

" Bu.." Matulla bangkit dari duduknya.

" Kalo kau memang sayang ngan Narmi, baek bercerai saja. Masih ada hati kau nak menyiksa dia?  Cinta macam apa cinta kau? " Matulla tertohok. Tepat di jantung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun