Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kramat!

14 Desember 2010   16:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tunggu dulu! Disebelah sana! Ya Tuhan, anak-anak itu keterlaluan sekali. Aku terkesiap. Mereka berebut memanjati pokok Mangga itu. Tak perduli kalau tepat disebelahnya tiga kuburan tua berderet berjajar. Tampaknya, ranum Mangga yang menggelayuti ujung rantingnya lebih menarik. Ah, anak sekarang, tak ada takut-takutnya.

_________

Pernah kudengar dari guru ku, kalau orang demam berhari-hari macam Paman tak sembuh-sembuh juga, ada kemungkinan terkena Demam Berdarah. Harus dibawa ke Puskesmas. Kalau tidak, akan khatam umurnya.

"Ah, Umak tak pecaya. Puskesmas itu cuma untuk orang berkurap ato nak melahirkan. Kalo penyakit macam Pakcik engkau tu manalah mungkin bisa sembuh disana." Umak asik menyangkal usulku sambil terus mengaduk nasi di periuk.

" Tapi Mak, tak salah pun kalo kita berusaha. Biar cepat sembuh." Guruku itu pintar, lulusan sekolah tinggi. Pasti aku mendengarkan usulannya.

"Tau apa guru engakau tu? Dia tuh orang kota, tak ada orang keteguran disana. Lagipun, kata Datuk tu obat dari dia berpantang dicampur ngan obat dari Pak Dokter. Bisa fatal akibatnya." Aku lelah sebenarnya meyakinkan Umak.

" Tapi, Mak..." Belum sampai kalimat ku, Ibu sudah memotong.

"Banyak nian cakap engkau ni. Baik kau basuh piring tu. Selesai perkara. Tak perlu kau menyoal Umak lagi." Kalau sudah sampai pada kalimat 'selesai perkara', berarti Umak benar-benar tak ingin disanggah. Aku terdiam, telak!

___________

Kampung kami kini semakin ramai, semakin padat pula penduduknya. Tak macam bertahun lalu, tiap rumah masih berpekarangan. Dulu, tiap menjelang Maghrib tak ada anak-anak berkeliaran dirumah. Pantang. Nanti disembunyikan hantu, tak pulang lagi kerumah.

Tapi sekarang, alamak! Makin sore, makin banyak anak-anak bermain. Bahkan tak sikit pula orang tua mereka menemani. Kubandingkan dengan Ibuku dan Ibu teman-temanku, mereka akan panik sekali jika anaknya tak pulang hingga lewat Maghrib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun