Mohon tunggu...
Panggih Septa Perwira
Panggih Septa Perwira Mohon Tunggu... lainnya -

Saya seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Karawang, Jawa Barat. Selain kuliah, kesibukan sehari-hari saya adalah menjadi seorang wartawan di salah satu surat kabar yang berada di Karawang. Contact Me FB : Panggih Septa Perwira Twitter : Panggih09

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Impian Bising di Terminal

29 Maret 2016   08:17 Diperbarui: 29 Maret 2016   08:23 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barangkali terminal ini jadi saksi.

Tempat lahirnya para perantau hebat di bumi pertiwi.

Ada pemuda - pemudi, merantau karena harga diri.

 

Ibu-ibu dengan anak kecil digendongannya, merantau untuk sekedar membantu keuangan suami.

 

Pun bapak-bapak setengahbaya itu, dengan setelan baju yang belum diseterika, lusuh, merantau untuk membuktikan ia sanggup menafkahi anak istri.

 

Barangkali, benang merahnya adalah demi sesuap nasi. Bahwa mereka butuh makan agar perut dapat terisi.

 

Ah, mungkin mereka sadar pendidikan mereka tak tinggi. Sadar bahwa tak ada celah untuk korupsi. Yang mereka tahu, merantau adalah jalan untuk meraih mimpi.

 

Oh iya, ada yang tertinggal.

Di terminal ini bising sekali. Bising suara pedagang asongan yang berkeliaran kesana kemari. Pengamen yang bergantian dari satu bis ke bis lainnya tanpa jeda yang pasti.

 

Namun setidaknya suara mereka suara rakyat. Bisingnya mereka masih enak didengar, nyaman ditelinga karena kita sama-sama rakyat, daripada mereka yang mengaku mewakili, berdebat hebat di televisi. Untuk apa?

 

Perdebatan mereka agaknya tak membuat perut rakyatnya terisi. Susu bayi diwarung-warung itu pun bahkan tak mampu terbeli. Lalu apa?

 

Ah, mungkin hanya menciptakan peraturan. Aturan-aturan yang semakin menyusahkan. Mencekik kehidupan. Semakin susah, semakin sulit, semakin tertekan.

 

Ya, barangkali terminal ini adalah awal langkah dari sebuah impian. Impian yang membawanya pada perubahan. Tak peduli cacian, entah itu hinaan, cercaan, ah persetan!

 

Sudahlah, akhirnya bus ini akan mulai berjalan. Masih banyak cerita sebenernya. Umpatan dikepala mereka pun masih banyak yang dipendam. Aku yakin mereka ingin katakan, tapi kepada siapa, tuan?

 

Barangkali terminal ini menyimpan beragam janji. Kepadaku, kepada mereka, dan kepada kita semua.

 

Di terminal ini aku akan pulang, di perantauan aku kan kembali. Bahwa harapan dan impian selalu terletak dalam hati. Namun kota kelahiran, akan tetap menjadi tempatku hingga aku mati.

 

Terminal Pekalongan, 29 Maret 2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun