Mohon tunggu...
Pangestu Adika Putra
Pangestu Adika Putra Mohon Tunggu... Desainer - Pekerja Visual

Nobody

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sunhaji dan Anomali Gerakan Solidaritas

6 Desember 2024   15:27 Diperbarui: 8 Desember 2024   07:11 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Digital Imaging Sunhaji (Sumber foto: Tempo. diolah penulis)

Kisah Pak Sunhaji, penjual es teh yang mendapat candaan tidak pantas dari Gus Miftah, adalah drama kehidupan yang berhasil mengusik banyak pihak.

Sebagai seorang pendakwah, Gus Miftah dikenal memiliki gaya ceramah santai, bahkan sering diwarnai guyonan. Tapi apa pun niatnya, candaan yang menjatuhkan harga diri seseorang jelas sulit diterima.

Dalam peristiwa ini, Gus Miftah seolah lupa bahwa pendakwah tidak hanya berbicara soal agama, tapi juga menjaga adab dan kemanusiaan.

Tentu, Gus Miftah sudah meminta maaf secara terbuka, bahkan secara langsung kepada Pak Sunhaji. Itu langkah yang baik, dan seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua orang, khususnya mereka yang kerap menjadi panutan publik.

Namun, satu hal yang tetap mengganjal adalah, mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Bukankah seorang pendakwah sudah sepatutnya memahami sensitivitas saat berhadapan dengan orang lain, terlebih mereka yang berada dalam posisi kurang beruntung?

Kenapa Ini Bisa Terjadi?

Kalau kita simak kembali potongan video yang viral, tampak ada seseorang di samping Gus Miftah yang berkata bahwa dagangan Pak Sunhaji minta "diborong."

Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Gus Miftah memang dikenal sering memborong dagangan para pedagang kecil di acara-acara pengajiannya. Ini adalah kebiasaan baik yang patut diapresiasi, tapi sekaligus membuka peluang bagi orang-orang untuk berharap hal serupa.

Pak Sunhaji mungkin salah satu di antaranya. Ia barangkali mendengar kisah-kisah sebelumnya tentang Gus Miftah yang memborong dagangan para pedagang asongan. Maka, malam itu ia mencoba mengadu nasib.

Sebuah harapan sederhana dari seorang pedagang kecil. Tapi harapan itu berakhir dengan ejekan yang menyakitkan. Dalam video itu, wajah Pak Sunhaji berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Ia diam, mungkin malu, kecewa, atau bahkan tak tahu harus merespons apa.

Namun, mari kita jujur. Apakah kesalahan sepenuhnya ada pada Pak Sunhaji yang berharap? Ataukah ini soal bagaimana kebiasaan baik Gus Miftah justru melahirkan ekspektasi besar yang sulit dikendalikan?

Deja Vu dengan Kisah Baim Wong

Peristiwa ini langsung mengingatkan kita pada kasus Baim Wong dan Kakek Suhud. Seperti yang kita tahu, Baim Wong adalah salah satu figur publik yang sering berbagi rejeki lewat konten-kontennya.

Tapi ketika seorang kakek tua menghampirinya berharap diberi bantuan, Baim malah memperlakukan sang kakek dengan kurang baik. Alih-alih mendapat bantuan, Kakek Suhud justru mendapatkan teguran di depan kamera.

Polanya sama. Gus Miftah, seperti halnya Baim Wong, punya kebiasaan yang sebenarnya mulia: membantu mereka yang membutuhkan.

Tapi kebiasaan ini tanpa disadari menciptakan ekspektasi besar dari orang-orang yang mengikutinya. Masyarakat mulai melihat mereka sebagai simbol sumber hadiah-mereka yang mampu memberikan hadiah besar hanya dengan satu pertemuan.

Ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, kekecewaan pun tak terhindarkan, baik dari pihak yang berharap maupun dari masyarakat yang melihat.

Namun, kasus ini juga menyoroti masalah lain yang jauh lebih mendasar: mentalitas masyarakat kita yang terlalu sering berharap rejeki nomplok dari orang lain.

Rejeki Nomplok Tidak Dirancang Untuk Semua Orang

Mari kita renungkan sejenak. Kenapa Pak Sunhaji atau Kakek Suhud berani berharap seperti itu? Jawabannya sederhana: karena mereka tahu, atau setidaknya percaya, bahwa tokoh seperti Gus Miftah dan Baim Wong memang memiliki kebiasaan membantu.

Tapi apakah ini sehat? Apakah kita ingin menjadi masyarakat yang selalu menggantungkan hidup pada belas kasihan orang lain?

Harapan itu wajar. Namun, menjadikan orang lain sebagai tumpuan utama untuk keluar dari kesulitan adalah sesuatu yang perlu kita pikirkan ulang.

Mental ini, jika terus dibiarkan, hanya akan membuat kita semakin bergantung pada orang lain. Dan ketika harapan itu tidak terpenuhi, kekecewaan yang muncul akan jauh lebih besar.

Apa solusinya? Tentu bukan berarti kita harus berhenti membantu satu sama lain. Tapi penting bagi kita untuk menanamkan semangat kemandirian.

Mulai dari hal kecil: percaya pada diri sendiri, bekerja keras, dan tidak menjadikan belas kasihan sebagai jalan utama untuk keluar dari masalah.

Soal rezeki nomplok, mari kita bicara tentang realitasnya. Hadiah, apa pun bentuknya, tidak pernah dirancang untuk semua orang.

Jika ada 10.000 orang, hanya satu atau dua yang mungkin mendapatkannya. Itulah pola dasarnya: selalu eksklusif, selalu terpusat pada sedikit orang, sementara sisanya hanya bisa menatap dan berharap. Fenomena seperti ini sebenarnya hanyalah cerminan dari bagaimana dunia bekerja.

Saya sepakat dengan pendapat Mas Puthut EA, bahwa dunia ini memiliki mekanisme yang secara alami memastikan jumlah orang miskin selalu lebih banyak daripada orang kaya.

Ketimpangan semacam ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga menyangkut bagaimana sistem sosial dan psikologis kita dirancang.

Orang miskin selalu menjadi mayoritas, karena roda ekonomi membutuhkan mereka untuk tetap berputar. Tanpa mereka, tidak ada tenaga murah, tidak ada pasar yang besar, tidak ada narasi "kesuksesan" yang bisa dirayakan oleh segelintir orang di puncak.

Kejadian seperti yang dialami Pak Sunhaji menjadi bukti nyata dari bagaimana mekanisme ini bekerja dalam skala kecil.

Di satu sisi, ia mendapat simpati besar hingga mengalir donasi ratusan juta. Tapi, mari jujur: apa yang terjadi pada ribuan penjual asongan lain yang mungkin hidup dalam kondisi lebih sulit daripada Pak Sunhaji?

Mereka tidak viral, tidak terekspose, dan tidak mendapatkan rejeki nomplok. Mereka hanya melanjutkan hidup dalam keheningan, tanpa ada yang melirik.

Donasi yang diterima Pak Sunhaji adalah bentuk solidaritas yang luar biasa. Tetapi di balik itu, kita tidak boleh melupakan fakta bahwa ini adalah sebuah "anomali."

Rejeki nomplok, baik itu donasi besar, viralitas, atau peluang emas, hanya akan berpihak pada satu-dua orang di tengah ribuan lainnya. Itulah mekanisme dunia, di mana nasib baik adalah mata uang langka yang tidak bisa diandalkan.

Narasi ini bukan untuk mengecilkan keberuntungan Pak Sunhaji atau mereka yang mendapatkan rejeki nomplok. Tapi ini adalah pengingat bahwa hadiah tidak bisa menjadi solusi kolektif.

Yang kita butuhkan adalah sistem yang lebih adil, yang tidak bergantung pada keberuntungan satu-dua orang, tetapi memberi ruang bagi semua untuk hidup dengan layak.

Dan sampai sistem itu terwujud, barangkali yang bisa kita lakukan adalah mendorong solidaritas-agar lebih banyak orang bisa merasakan hadiah kecil dalam bentuk perhatian dan bantuan nyata, tanpa perlu menunggu viral.

Gotong Royong yang Selektif

Setelah kejadian itu, simpati masyarakat kepada Pak Sunhaji melonjak drastis. Donasi mengalir deras hingga mencapai ratusan juta rupiah. Ini jelas adalah hadiah besar bagi Pak Sunhaji, yang katanya hanya mendapatkan 10-30 ribu rupiah per hari dari jualan es teh.

Saya pribadi tidak mempermasalahkan donasi-donasi ini. Sebaliknya, ini adalah bukti bahwa masyarakat kita masih memiliki rasa empati yang tinggi dan semangat gotong royong yang luar biasa.

Tapi, pernahkah kita membayangkan perasaan mereka yang kondisinya lebih sulit dari Pak Sunhaji? Mereka yang sama-sama berjuang, tapi tidak mendapatkan perhatian yang sama?

Mereka hanya bisa menonton berita tentang donasi besar mengucur ke Pak Sunhaji sambil terus berkutat dengan kesulitan hidup masing-masing? Inilah ironi gotong royong yang sering kali selektif.

Kita tergerak oleh apa yang viral, oleh kisah-kisah yang muncul di permukaan, tapi sering kali melupakan mereka yang tidak terekspos media.

Ini bukan kritik terhadap donasi, melainkan sebuah refleksi. Betapa dunia ini sering kali tidak adil, bahkan dalam hal kebaikan. Dan di sinilah pentingnya kita untuk terus membantu, tapi juga berpikir lebih luas: bagaimana menjangkau mereka yang lebih membutuhkan, meski mereka tidak viral.

Peristiwa ini meninggalkan banyak pelajaran bagi kita semua. Untuk Gus Miftah, ini adalah pengingat bahwa adab lebih penting daripada apa pun, terlebih bagi seorang pendakwah.

Untuk Pak Sunhaji, ini adalah kisah tentang bagaimana kesulitan dan kesabaran bisa berubah menjadi berkah. Dan untuk kita semua, ini adalah momen untuk merefleksikan kembali bagaimana kita memandang harapan, kemandirian, dan gotong royong.

Hidup ini adalah perjuangan, dan kita harus terus berusaha tanpa terlalu bergantung pada orang lain. Jika rejeki datang dari tangan orang lain, syukuri. Jika tidak, tetaplah berjalan. Sebab hidup yang sejati adalah ketika kita mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Artikel ini saya tulis selama tiga hari. Bukan karena kehabisan ide atau kesulitan menyusun kata, tetapi lebih karena saya merasa harus benar-benar mempertimbangkan setiap kalimat yang akan saya sampaikan.

Saya khawatir, tulisan ini akan disalahpahami sebagai bentuk ketidakberpihakan terhadap Pak Sunhaji. Namun, di sisi lain, saya juga merasa perlu mengangkat poin-poin penting yang sering kali terlewat dalam diskusi tentang kejadian ini.

Bagaimanapun, saya tahu tidak semua orang akan sepakat dengan apa yang saya tulis. Saya menyadari ada risiko bahwa tulisan ini mungkin memancing ketidaksukaan dari beberapa pembaca.

Namun, saya percaya bahwa menulis adalah bentuk tanggung jawab, bukan hanya terhadap diri sendiri tetapi juga terhadap kebenaran yang kita yakini.

Tulisan ini saya rilis bukan untuk menghakimi siapa pun, melainkan untuk mengajak kita semua berpikir lebih dalam tentang fenomena yang terjadi di sekitar kita.

Jika pada akhirnya ada yang merasa tidak puas, saya harap pembaca sekalian bisa melihat tulisan ini dari sudut pandang yang lebih luas.

Saya yakin, pemikiran pembaca sekalian tidak sesempit persepsi bahwa semua hal harus hitam dan putih-karena hidup, seperti yang kita tahu, lebih sering berada di area abu-abu.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun