Donasi yang diterima Pak Sunhaji adalah bentuk solidaritas yang luar biasa. Tetapi di balik itu, kita tidak boleh melupakan fakta bahwa ini adalah sebuah "anomali."
Rejeki nomplok, baik itu donasi besar, viralitas, atau peluang emas, hanya akan berpihak pada satu-dua orang di tengah ribuan lainnya. Itulah mekanisme dunia, di mana nasib baik adalah mata uang langka yang tidak bisa diandalkan.
Narasi ini bukan untuk mengecilkan keberuntungan Pak Sunhaji atau mereka yang mendapatkan rejeki nomplok. Tapi ini adalah pengingat bahwa hadiah tidak bisa menjadi solusi kolektif.
Yang kita butuhkan adalah sistem yang lebih adil, yang tidak bergantung pada keberuntungan satu-dua orang, tetapi memberi ruang bagi semua untuk hidup dengan layak.
Dan sampai sistem itu terwujud, barangkali yang bisa kita lakukan adalah mendorong solidaritas-agar lebih banyak orang bisa merasakan hadiah kecil dalam bentuk perhatian dan bantuan nyata, tanpa perlu menunggu viral.
Gotong Royong yang Selektif
Setelah kejadian itu, simpati masyarakat kepada Pak Sunhaji melonjak drastis. Donasi mengalir deras hingga mencapai ratusan juta rupiah. Ini jelas adalah hadiah besar bagi Pak Sunhaji, yang katanya hanya mendapatkan 10-30 ribu rupiah per hari dari jualan es teh.
Saya pribadi tidak mempermasalahkan donasi-donasi ini. Sebaliknya, ini adalah bukti bahwa masyarakat kita masih memiliki rasa empati yang tinggi dan semangat gotong royong yang luar biasa.
Tapi, pernahkah kita membayangkan perasaan mereka yang kondisinya lebih sulit dari Pak Sunhaji? Mereka yang sama-sama berjuang, tapi tidak mendapatkan perhatian yang sama?
Mereka hanya bisa menonton berita tentang donasi besar mengucur ke Pak Sunhaji sambil terus berkutat dengan kesulitan hidup masing-masing? Inilah ironi gotong royong yang sering kali selektif.
Kita tergerak oleh apa yang viral, oleh kisah-kisah yang muncul di permukaan, tapi sering kali melupakan mereka yang tidak terekspos media.