Deja Vu dengan Kisah Baim Wong
Peristiwa ini langsung mengingatkan kita pada kasus Baim Wong dan Kakek Suhud. Seperti yang kita tahu, Baim Wong adalah salah satu figur publik yang sering berbagi rejeki lewat konten-kontennya.
Tapi ketika seorang kakek tua menghampirinya berharap diberi bantuan, Baim malah memperlakukan sang kakek dengan kurang baik. Alih-alih mendapat bantuan, Kakek Suhud justru mendapatkan teguran di depan kamera.
Polanya sama. Gus Miftah, seperti halnya Baim Wong, punya kebiasaan yang sebenarnya mulia: membantu mereka yang membutuhkan.
Tapi kebiasaan ini tanpa disadari menciptakan ekspektasi besar dari orang-orang yang mengikutinya. Masyarakat mulai melihat mereka sebagai simbol sumber hadiah-mereka yang mampu memberikan hadiah besar hanya dengan satu pertemuan.
Ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, kekecewaan pun tak terhindarkan, baik dari pihak yang berharap maupun dari masyarakat yang melihat.
Namun, kasus ini juga menyoroti masalah lain yang jauh lebih mendasar: mentalitas masyarakat kita yang terlalu sering berharap rejeki nomplok dari orang lain.
Rejeki Nomplok Tidak Dirancang Untuk Semua Orang
Mari kita renungkan sejenak. Kenapa Pak Sunhaji atau Kakek Suhud berani berharap seperti itu? Jawabannya sederhana: karena mereka tahu, atau setidaknya percaya, bahwa tokoh seperti Gus Miftah dan Baim Wong memang memiliki kebiasaan membantu.
Tapi apakah ini sehat? Apakah kita ingin menjadi masyarakat yang selalu menggantungkan hidup pada belas kasihan orang lain?
Harapan itu wajar. Namun, menjadikan orang lain sebagai tumpuan utama untuk keluar dari kesulitan adalah sesuatu yang perlu kita pikirkan ulang.