Mohon tunggu...
Pangestu Adika Putra
Pangestu Adika Putra Mohon Tunggu... Desainer - Pekerja Visual

Nobody

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Akal Bulusnya Makelar Mobil Tidak Pernah Sepragmatis Politisi!

23 Oktober 2024   14:31 Diperbarui: 24 Oktober 2024   10:26 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Nggambar Sendiri dong

Sebagai warga negara yang menyaksikan ini semua dari pinggir lapangan, saya punya hak untuk merasa kecewa. Bukan hanya karena janji-janji yang dilanggar, tetapi juga karena politik yang seharusnya menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, seringkali hanya menjadi arena untuk mempertahankan kepentingan.

Ini alasan mengapa dari dulu saya tidak pernah percaya pada omongan politisi. Mereka berbicara dengan janji-janji yang kerap dibungkus dengan narasi indah, tetapi realitasnya seringkali jauh dari harapan.

Saya lebih percaya makelar mobil. Bukan karena mereka sepenuhnya jujur, tetapi setidaknya ketika bohong, mereka hanya bohong soal spesifikasi barang atau harga beli sebelumnya. Tidak pernah ada makelar yang berani menjanjikan kalau mobilnya nabrak atau rusak, mereka siap ganti. Kebohongan makelar punya batas, sementara kebohongan politisi seolah tidak kenal akhir.

Politisi suka menjual janji yang besar-besar, tetapi sangat jarang mereka benar-benar memegang janji tersebut ketika situasi berubah.

Pada masa kampanye Pilpres 2024 kemarin dengan lantang Cak Imin menyatakan bahwa jika dia kalah, dia akan siap menjadi oposisi. Pernyataannya yang dramatis saat itu berhasil mengumpulkan perhatian. "Oposisi itu pekerjaan mulia," katanya. Dia menyebutkan bahwa PKB ingin merasakan peran oposisi, karena sudah terlalu lama duduk dalam kekuasaan.

Sampailah pada puncaknya, pilpres 2024 dimenangkan oleh pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming. Pasangan Anies-Imin dan Ganjar-Mahfud gagal mendapatkan kursi di Istana. Maka, seharusnya, berdasarkan pernyataannya, Cak Imin dan PKB akan berdiri di luar pemerintahan sebagai oposisi.

Lagi-lagi plot twist, persis seperti 2019. Prabowo-Sandi yang saat itu menjadi rival Jokowi-Ma'ruf tiba-tiba resmi jadi Menhan (Menteri Pertahanan), kemudian disusul Sandiaga Uno yang juga jadi Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif.

Kini plot twist itu kembali kita saksikan, Cak imin jadi Menteri Pemberdayaan Masyarakat. PKS dan Nasdem Bersandar di pelukan Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Giran 2024. Begitulah landscape perpolitikan Indonesia, normal.

Kisah di atas menegaskan pandangan saya bahwa janji politisi seringkali hanyalah alat untuk menarik dukungan.

Refleksi ini mengingatkan saya pada Public Choice Theory oleh James M. Buchanan dan Gordon Tullock. Teori ini menyatakan bahwa politisi, layaknya individu lainnya, bertindak berdasarkan kepentingan pribadi, dan bukan atas dasar kepentingan umum seperti yang sering mereka klaim.

Dalam konteks ini, janji Cak Imin untuk menjadi oposisi mungkin tidak lebih dari strategi pragmatis untuk menarik simpati pemilih yang merasa bosan dengan status quo. Ketika situasi berubah, kepentingan pribadi atau partainya menjadi lebih utama.

Tidak berhenti di situ, pun demikian Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai yang mendukung pasangan Anies Baswedan dan Cak Imin ini, yang selama masa kampanye berbicara lantang tentang perubahan, juga pada akhirnya ikut merapat ke kubu pemenang.

Dari situ, PKS juga kebagian jatah menteri. Prof. Yassierli diangkat menjadi Menteri Ketenagakerjaan. Tidak penting soal apakah beliau kader PKS atau bukan, yang pasti PKS mengusulkannya.

Beranjak dari PKS, partai Nasional Demokrasi (Nasdem) yang merupakan partai pengusung pasangan Anies Baswedan-Cak Imin, justru lebih duluan menunjukkan pergerakan serupa. Nasdem dengan cepat menyesuaikan langkah setelah hasil Pilpres, dan mereka langsung ikut baris di Koalisi Indonesia Maju.

Langkah Nasdem ini bahkan menjadi sinyal awal dari pragmatisme politik yang muncul pasca-Pilpres 2024. Kehadiran Nasdem dalam koalisi pemenang menunjukkan bahwa dinamika koalisi di Indonesia tidak sepenuhnya stabil atau berdasarkan ideologi.

Sebaliknya, semuanya tampak didasari pada kepentingan politik praktis dan pembagian kekuasaan. Nasdem yang sebelumnya lantang menyuarakan perubahan, kini justru berada di kubu yang sama dengan para lawan politik yang mereka kritisi saat masa kampanye. Bedanya, Nasdem tidak atau belum punya kursi di kabinet.

Pengamat politik, seperti William Liddle, menyebutkan bahwa praktik semacam ini mencerminkan "pragmatisme politik" yang telah lama mewarnai sistem politik Indonesia. Menurutnya, koalisi dan oposisi di Indonesia tidak didasarkan pada perbedaan ideologi yang tajam, melainkan pada pembagian kekuasaan dan posisi strategis dalam pemerintahan.

Hal ini menjelaskan mengapa partai-partai yang sebelumnya bersaing sengit dalam pemilu bisa dengan cepat berbalik dan bergabung dengan kubu pemenang, asalkan ada tawaran posisi di kabinet.

Jadi, bagi saya, perubahan sikap Nasdem, PKS dan PKB termasuk Cak Imin ini tidaklah mengejutkan. Bukan karena saya sinis, tapi karena saya sudah melihat pola ini berulang kali. Dalam politik, tidak ada kawan atau lawan abadi, hanya kepentingan yang abadi.

Namun, yang membuat saya lebih skeptis adalah cara mereka menjual janji-janji selama kampanye. Mereka dengan bangga berbicara tentang perubahan, keberanian menjadi oposisi, hingga tentang pentingnya menjaga demokrasi dengan mengkritisi kebijakan pemerintah.

Tetapi begitu hasil pemilu diumumkan dan mereka gagal, narasi itu seolah tidak lagi relevan. Apa yang tadinya dianggap sebagai prinsip, sekarang hanya terlihat sebagai taktik.

Ini bisa dilihat dari seringnya istilah "politik transaksional" digunakan dalam kajian politik Indonesia, di mana setiap keputusan politik kerap kali berbasis tawar-menawar kekuasaan, bukan berdasarkan prinsip atau ideologi yang jelas.

Tentu, saya memahami bahwa dalam politik, kompromi adalah bagian dari permainan. Tapi, tidakkah kita berhak berharap sedikit konsistensi dari para pemimpin kita? Tidakkah seharusnya janji politik itu dipegang setidaknya sampai beberapa bulan setelah pemilu?

Ada satu istilah yang setidaknya pernah saya baca, Political Fatigue, yaitu rasa lelah atau jenuh yang dirasakan oleh masyarakat terhadap sistem politik yang kerap kali mengecewakan. Masyarakat menjadi skeptis terhadap janji-janji politikus karena berulang kali dibohongi atau tidak melihat perubahan yang nyata.


Dalam konteks Indonesia, political fatigue ini sangat nyata dan menjadi alasan mengapa banyak orang, termasuk saya, cenderung apatis atau bahkan sinis terhadap janji politik.

Ini juga semakin memperkuat alasan mengapa saya memilih untuk menjaga jarak dari janji-janji politik. Bukan karena saya apatis terhadap politik itu sendiri, tetapi karena saya telah belajar dari pengalaman bahwa janji-janji tersebut jarang sekali dipegang.

Seperti yang dikatakan Dosen saya Pak Suryanto (Dosen STIKOM Semarang), ia mengutip pendapatnya Michael Walzer dalam Spheres of Justice (1983). Politik seringkali menjadi ruang di mana nilai-nilai diperdagangkan dan dinegosiasikan, bukan dipertahankan dengan teguh. Ini berarti, dalam sistem politik yang pragmatis seperti di Indonesia, janji-janji seperti "siap jadi oposisi" atau lainnya mungkin tidak lebih dari sekadar alat negosiasi, bukan prinsip yang dipegang teguh.

Dan, pada akhirnya, apakah saya menyalahkan mereka? Mungkin tidak sepenuhnya. Sistem politik kita memang mendukung terjadinya hal-hal semacam ini. Dengan tidak adanya garis ideologis yang jelas, politik di Indonesia lebih berfokus pada hasil jangka pendek, seperti pembagian kekuasaan dan posisi strategis.

Jadi, ketika Cak Imin dan lainnya memutuskan untuk merapat ke kubu Prabowo Gibran 2024, itu mungkin hanya wujud dari sistem politik yang ada. Tentu saja, kepentingan pragmatis itu lebih menentukan daripada janji kampanye yang sudah diucapkan.

Tapi, sebagai warga negara yang menyaksikan ini semua dari pinggir lapangan, saya punya hak untuk merasa kecewa. Bukan hanya karena janji-janji yang dilanggar, tetapi juga karena politik yang seharusnya menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, seringkali hanya menjadi arena untuk mempertahankan kepentingan.

Dan ini bukan hanya soal kekecewaan terhadap individu, tetapi sistem yang mengizinkan kebohongan semacam ini terus berulang. Semua itu hanya memperkuat alasan mengapa saya lebih percaya makelar daripada politisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun