Mohon tunggu...
Pangestu Adika Putra
Pangestu Adika Putra Mohon Tunggu... Desainer - Pekerja Visual

Nobody

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Akal Bulusnya Makelar Mobil Tidak Pernah Sepragmatis Politisi!

23 Oktober 2024   14:31 Diperbarui: 24 Oktober 2024   10:26 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Nggambar Sendiri dong

Dalam konteks ini, janji Cak Imin untuk menjadi oposisi mungkin tidak lebih dari strategi pragmatis untuk menarik simpati pemilih yang merasa bosan dengan status quo. Ketika situasi berubah, kepentingan pribadi atau partainya menjadi lebih utama.

Tidak berhenti di situ, pun demikian Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai yang mendukung pasangan Anies Baswedan dan Cak Imin ini, yang selama masa kampanye berbicara lantang tentang perubahan, juga pada akhirnya ikut merapat ke kubu pemenang.

Dari situ, PKS juga kebagian jatah menteri. Prof. Yassierli diangkat menjadi Menteri Ketenagakerjaan. Tidak penting soal apakah beliau kader PKS atau bukan, yang pasti PKS mengusulkannya.

Beranjak dari PKS, partai Nasional Demokrasi (Nasdem) yang merupakan partai pengusung pasangan Anies Baswedan-Cak Imin, justru lebih duluan menunjukkan pergerakan serupa. Nasdem dengan cepat menyesuaikan langkah setelah hasil Pilpres, dan mereka langsung ikut baris di Koalisi Indonesia Maju.

Langkah Nasdem ini bahkan menjadi sinyal awal dari pragmatisme politik yang muncul pasca-Pilpres 2024. Kehadiran Nasdem dalam koalisi pemenang menunjukkan bahwa dinamika koalisi di Indonesia tidak sepenuhnya stabil atau berdasarkan ideologi.

Sebaliknya, semuanya tampak didasari pada kepentingan politik praktis dan pembagian kekuasaan. Nasdem yang sebelumnya lantang menyuarakan perubahan, kini justru berada di kubu yang sama dengan para lawan politik yang mereka kritisi saat masa kampanye. Bedanya, Nasdem tidak atau belum punya kursi di kabinet.

Pengamat politik, seperti William Liddle, menyebutkan bahwa praktik semacam ini mencerminkan "pragmatisme politik" yang telah lama mewarnai sistem politik Indonesia. Menurutnya, koalisi dan oposisi di Indonesia tidak didasarkan pada perbedaan ideologi yang tajam, melainkan pada pembagian kekuasaan dan posisi strategis dalam pemerintahan.

Hal ini menjelaskan mengapa partai-partai yang sebelumnya bersaing sengit dalam pemilu bisa dengan cepat berbalik dan bergabung dengan kubu pemenang, asalkan ada tawaran posisi di kabinet.

Jadi, bagi saya, perubahan sikap Nasdem, PKS dan PKB termasuk Cak Imin ini tidaklah mengejutkan. Bukan karena saya sinis, tapi karena saya sudah melihat pola ini berulang kali. Dalam politik, tidak ada kawan atau lawan abadi, hanya kepentingan yang abadi.

Namun, yang membuat saya lebih skeptis adalah cara mereka menjual janji-janji selama kampanye. Mereka dengan bangga berbicara tentang perubahan, keberanian menjadi oposisi, hingga tentang pentingnya menjaga demokrasi dengan mengkritisi kebijakan pemerintah.

Tetapi begitu hasil pemilu diumumkan dan mereka gagal, narasi itu seolah tidak lagi relevan. Apa yang tadinya dianggap sebagai prinsip, sekarang hanya terlihat sebagai taktik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun