Mohon tunggu...
Pangestu Adika Putra
Pangestu Adika Putra Mohon Tunggu... Desainer - Pekerja Visual

Nobody

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Semakin #Desperate, Semakin Sulit Dapat Kerja!

21 Oktober 2024   10:55 Diperbarui: 22 Oktober 2024   13:23 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Desperate. (Dok Pexels.com)

Sepahit apa pun kondisi yang kita alami, bukan berarti kita harus memperlihatkannya secara terang-terangan

Di era media sosial ini, berbagai ekspresi diri mudah sekali menyebar, salah satunya di platform profesional seperti LinkedIn. Belakangan ini, sering melihat fenomena pekerja muda yang menuliskan tagar #desperate di profil mereka. Jujur, saya merasa miris.

Memang, kadang-kadang keadaan sulit bikin kita ingin meluapkan semuanya. Termasuk mengeskpresikannya ke orang lain, tapi menuliskan tagar #desperate di profil LinkedIn? Bagi saya itu sama seperti menggantungkan sobekan kardus bertuliskan "tolong kasihani saya" di leher sendiri.

Seperti sebuah sobekan kardus yang mungkin sepele tapi punya dampak besar, tagar #desperate itu justru membuat citra diri seseorang terlihat... ya, putus asa. Siapa yang mau melirik seseorang yang sudah terang-terangan mengakui dirinya sedang dalam situasi tak berdaya? 

Rasanya sulit untuk perusahaan mana pun, yang berharap menemukan calon karyawan bermental tangguh, bisa tertarik pada pelamar dengan narasi semacam itu.

Mari kita buat ilustrasi sederhana. Bayangkan, ada dua pelamar yang datang ke sebuah perusahaan dengan posisi dan latar belakang pendidikan yang sama. Yang satu datang dengan keputusasaan, menceritakan betapa sulitnya mencari kerja dan mengutuk ini dan itu. Di sisi lain, ada pelamar yang penuh dengan percaya diri bahkan di profil linkedinnya dia menuliskan #ReadyToGrow, meski sama-sama belum mendapat pekerjaan, tapi menunjukkan kesiapan yang berbeda.

Bayangkan, di depan meja pewawancara, pelamar pertama tampil lesu, tanpa harapan. Sedangkan pelamar kedua datang dengan senyum lebar dan semangat yang membara. Mana yang lebih menarik? Tentu, perusahaan akan lebih tertarik pada yang optimis, yang punya semangat bertumbuh, dibandingkan yang hanya menyiratkan pesimisme.

Hal ini bukan sekadar soal pencitraan semata. Kita bicara tentang bagaimana perusahaan memandang calon pegawai mereka. Ketika sebuah perusahaan mencari karyawan, mereka mencari orang yang bisa menjadi solusi, bukan yang justru datang dengan membawa beban.

Sebuah perusahaan adalah organisasi yang terus bergerak, menghadapi tantangan-tantangan baru, dan mereka membutuhkan orang yang bisa ikut berlari bersama mereka, bukan yang butuh diseret, dirangkul dan digendong setiap saat.

Tentu saja, saya paham situasi sulit dapat kerja. Memang tidak mudah, terutama di masa sekarang. Tapi, sepahit apa pun kondisi yang kita alami, bukan berarti kita harus memperlihatkannya secara terang-terangan. Apalagi menulis #desperate di platform yang sudah kita tahu sebagai tempat para profesional berkumpul. Apa yang kita tampilkan di sana adalah bagian dari branding diri kita. Dan branding itu, mau tidak mau, adalah salah satu penentu apakah perusahaan mau melirik atau tidak.

Bisa dibilang LinkedIn adalah etalase profesional kita. Apa yang kita tulis di sana menggambarkan siapa diri kita, termasuk di mata perekrut. Menunjukkan kekuatan diri, rasa percaya diri, dan kesiapan untuk menghadapi tantangan baru lebih bernilai di sana. Mungkin kita bisa mendapatkan simpati dengan curhat di X, FB, IG atau Tiktok, tapi di LinkedIn beda, kita perlu menunjukkan bahwa kita siap untuk bersaing dan berkembang.

Harusnya, di era teknologi seperti ini, kita bisa memanfaatkan banyak cara untuk mengasah kemampuan, bukan sekadar mengumbar keputusasaan. Ada banyak kursus online gratis, tutorial YouTube, atau bahkan platform-platform berbasis AI yang bisa membantu kita belajar skill baru.

Misalnya, ikut kursus digital marketing, desain grafis, atau belajar coding dari nol. Bahkan, hal-hal seperti itu bisa kita sertakan di profil LinkedIn kita lho, menunjukkan bahwa meski kita belum bekerja, tapi kita aktif mencari peluang untuk selalu berkembang.

Ini bukan berarti saya menutup mata terhadap sulitnya mencari kerja. Tapi, jika kita mau lebih bijak, ada cara-cara yang lebih baik dalam menghadapi situasi sulit tanpa harus mengorbankan citra diri. 

Bukan berarti kita membohongi diri atau dunia dengan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi, daripada menuliskan #desperate, lebih baik kita tampilkan semangat dan optimisme.

Jika kita membuka mata dan mau melihat dari sisi lain, teknologi juga membawa banyak peluang baru. Tidak hanya soal kursus online, tapi juga peluang untuk bekerja secara remote atau freelance. 

Platform seperti Upwork, Fiverr, atau bahkan membuka jasa sendiri di media sosial adalah kesempatan yang bisa dimanfaatkan sambil menunggu pekerjaan. Menambah pengalaman dan portofolio melalui freelance bisa menjadi salah satu cara untuk tetap aktif dan produktif di saat kita belum mendapat pekerjaan impian.

Dari sisi perusahaan, calon pegawai yang memiliki sikap optimis dan antusias tentu menjadi nilai tambah. Perusahaan selalu butuh orang-orang yang bisa memberikan solusi, bukan menambah beban. Mereka mencari orang-orang yang ulet, mau belajar, dan siap untuk tumbuh bersama perusahaan.

Ketika melihat profil yang penuh dengan curahan keputusasaan, wajar jika mereka jadi ragu. Setiap perusahaan tentu ingin memastikan bahwa karyawan mereka tidak mudah menyerah pada tantangan, bukan malah mudah terpuruk ketika menghadapi kesulitan.

Sebaliknya, saat perusahaan melihat kandidat yang memanfaatkan waktu luangnya untuk mengembangkan diri, yang menunjukkan inisiatif untuk belajar skill baru, mereka akan melihat potensi yang besar di sana. 

Mereka tahu bahwa kandidat tersebut tidak hanya menunggu nasib, tapi aktif mencari cara untuk memperbaiki diri. Ini menunjukkan bahwa ketika menghadapi masalah di pekerjaan nantinya, kandidat ini akan lebih tangguh dan tidak mudah menyerah.

Mungkin akan lain ceritanya kalau ada perusahaan yang justru mencari pegawai dengan kualifikasi seperti pesimis, putus asa, minder, insecure, atau bahkan malas. Jika perusahaan seperti itu ada, mungkin kamu adalah orang yang tepat untuk mereka.

Namun, sejauh saya hidup di bumi Indonesia, rasanya perusahaan seperti ini sangat mustahil ada. Tapi, siapa yang tahu, berharap akan adanya perusahaan yang demikian ini sah-sah saja. Meskipun, menurut saya, menunggu panggilan dari perusahaan seperti ini mungkin sama beratnya dengan menunggu salju turun di Bekasi.

Bukannya tidak berempati terhadap situasi pekerja muda, saya pun paham betul bahwa mencari pekerjaan adalah perjuangan yang melelahkan. Tapi, kalau kita sudah memilih untuk membuat profil di LinkedIn, berarti kita juga perlu memahami cara bermainnya dong. 

LinkedIn bukan Facebook, X, Instagram atau Tiktok, tempat kita bisa melampiaskan segala isi hati secara bebas. LinkedIn adalah etalase profesional kita, dan di sanalah kita harus bisa menunjukkan sisi terbaik kita.

Apalagi, kita juga hidup di zaman yang memberi banyak kemudahan untuk berkembang. Bahkan, ketika tidak ada panggilan kerja yang datang, kita bisa memanfaatkan waktu untuk belajar, menambah portofolio, atau bahkan terjun ke pekerjaan freelance.

Ada banyak platform yang bisa diakses, dari yang berbayar hingga yang gratis. Percayalah, menunjukkan kemauan untuk terus belajar dan berkembang jauh lebih menarik di mata perusahaan daripada menunjukkan kelemahan diri.

Jika saya harus memberikan pesan kepada teman-teman pekerja muda yang sedang berjuang mencari pekerjaan, mungkin pesan saya sederhana, gantilah #desperate itu dengan sesuatu yang lebih positif. 

Coba bayangkan seandainya kita mengganti narasi keputusasaan dengan hal-hal seperti #EagerToLearn atau #ExcitedForNewChallenges. Bukankah itu lebih menarik untuk dilihat oleh calon perekrut?

Saya yakin, dengan sikap yang lebih positif dan penuh semangat, peluang yang kita inginkan akan lebih mudah datang. Mungkin tidak segera, tapi setidaknya kita tahu bahwa kita sudah menampilkan diri dengan cara yang benar, tanpa harus terlihat sedang memohon-mohon simpati.

Pada akhirnya, kita memang tidak bisa mengontrol siapa yang akan menerima kita bekerja, tapi kita bisa mengontrol bagaimana kita menampilkan diri. Memperlihatkan kekuatan diri, menunjukkan semangat belajar, dan menjaga optimisme bisa menjadi kunci yang lebih baik untuk menarik perhatian perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun