Sebagai pekerja visual, hidup saya nggak pernah jauh-jauh dari estetika. Buat saya, warna, font, shape, dan layout bukan hanya sekadar elemen visual saja, mereka adalah bahasa yang bisa berbicara tanpa bersuara. Tapi terkadang saya terpaksa "mendengar" suara-suara aneh dari visual-visual yang saya temui dijalan-jalan seperti spanduk, baliho, banner, yang entah bagaimana, bikin mata saya gatel (bukan gathel).Â
Pernah ngalamin juga? Mungkin terdengar remeh dan agak sok idealis. Toh, bagi kebanyakan orang, baliho dan banner-banner itu ya cuma iklan lewat yang nggak perlu dipikirin. Tapi bagi saya, ini seperti nonton film dengan eksekusi CGI yang ala kadarnya, rasanya gimana gitu.
Mata saya tidak bisa berhenti memikirkan betapa fatalnya pemilihan font Comic Sans untuk iklan penjualan mobil bekas. Bayangkan, iklan mobil bekas dikomunikasikan dengan font yang identik dengan buku cerita anak-anak. Ironis to?
Dan itu baru soal font. Belum soal warna, elemen grafis, layout dan aspek lainnya. Saya sering melihat baliho yang isinya full teks numpuk seperti latar belakang skripsi. Rasanya ingin mengirim pesan ke pembuatnya, "Mas, mbak, pak, Bu, ini baliho, bukan novel, nggak ada yang punya waktu buat baca sebanyak itu di lampu merah!"
Padahal, esensi dari komunikasi visual adalah menyampaikan pesan seefektif mungkin. Pemilihan sebuah gambar, warna, teks yang tepat bisa menghemat kata-kata, bahkan waktu membaca. Namun, yang saya lihat di jalanan sering kali malah sebaliknya. Pesannya berusaha banget sampai, tapi justru tenggelam di antara pilihan warna yang terlalu ngejreng dan desain yang penuh sesak.
Warna juga sering jadi masalah. Ada spanduk yang warnanya mencolok banget, sampai-sampai seperti bersaing dengan cerahnya sinar matahari. Kenapa sih, ada orang yang berpikir kalau kombinasi merah stabilo dengan kuning cerah itu ide yang bagus? Apa mereka lupa kalau warna-warna itu bikin mata kayak lagi nonton layar handphone dengan brightness 100% di tengah malam?
Saya jadi kepikiran, mungkin mereka tidak terlalu paham bahwa warna itu punya psikologi. Warna biru bisa bikin orang merasa tenang, warna merah membangkitkan rasa urgensi dan sebagainya. Tapi kalau merahnya terlalu mencolok, yang ada bukan rasa urgensi, tapi malah "pet-petan". Desain itu harusnya berbicara dengan halus, bukan berteriak-teriak.
Bagi saya, branding adalah soal bagaimana sebuah bisnis bisa punya "suara" yang tepat. Ini bukan sekadar soal estetik, tapi soal bagaimana visual bisa jadi jembatan yang menghubungkan produk dengan audiensnya. Sayangnya, banyak yang sepertinya belum paham. Yang penting spanduknya jadi, urusan desain belakangan.
Saya membayangkan visual-visual di jalanan ini diibaratkan seperti orang ngomong. Ada baliho yang ngomong dengan nada suara terlalu kencang (warnanya ngejreng dan fontnya norak), ada juga yang ngomongnya muter-muter nggak jelas (isinya full teks). Boro-boro pesannya dipahami, yang ada malah bikin orang cepat-cepat memindahkan pandangannya.