Mohon tunggu...
Pangeran Djoko
Pangeran Djoko Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar abadi

Sedang belajar menulis tentang apa saja, kapan saja, di mana saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Anda Mengenal Si Alis Tebal, Si Gadis Anggun, Si Muka Tanpa Dosa, Si Gigi Biru atau Eci Bunda Pejuang?

22 Februari 2020   08:31 Diperbarui: 22 Februari 2020   08:32 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2019 yang lalu saya berkesempatan berkeliling menjadi pelancong PAUD.  Pak Prof Nursani, Ketua BAN PAUD PNF Prov. Kalimantan tengah menyebutnya visitasi akreditasi. Bahasanya harus ilmiah. Maklum, beliau adalah Profesor. Sedangkan saya hanyalah pelancong, pejalan dan petualang, yang senang berjalan-jalan. 

Dari desa ke desa. Dari TK ke TK. Dari KB ke KB. Saya terkadang naik mobil, terkadang naik motor. Saya terkadang naik ojek, sesekali naik jukung-sejenis perahu kecil yang harus didayung- dan beberapa kali menyeberang dengan sungai dengan perahu Feri. Persis seperti yang saya duga. Visitasi tahun 2019 akan sangat menyenangkan. Perjalanannya sungguh menantang. Dan jiwa petualangan saya sangat di manjakan.

Dari beberapa PAUD yang saya datangi, saya sempatkan menulis catatan ringan hari minggu. Semoga seringan kerupuk, serenyah kripik kentang dan segurih gorengan. 

Apakah ada pembaca yang mengenal nama-nama yang saya sebut di judul tulisan ini?

Tentu anda tidak akan mengenal. Pembaca sekalian,  nama-nama di judul tulisan ini adalah bunda-bunda PAUD di pelosok Kalimantan Tengan yang tahun kemaren saya datangi. Saya suka memberi nama kepada mereka, karena saya suka dengan mereka. Saya suka dengan perjuangan mereka. Saya jatuh cinta dengan semangat mereka. Saya merasa bangga dengan pengorbanan mereka.

Siapakah si Alis Tebal? Dia adalah bunda PAUD di ujung Lamandau. Di tengah hutan sawit. Di desa yang namanya mirip tempat saya jalan-jalan di Korea. Nama desanya BAKONSU, dekat Piyong yang, sebelah Nayang. 

Siapakah si Gadis Anggun? Dia adalah bunda PAUD di desa Tewang Tampang, Kec, Pulai Malan sebarang hilir sungai Katingan.

Siapakah si Kancing Selisih? Dia adalah bunda PAUD di desa Sungai Tuat, sebuah desa tanpa lsitrik, tanpa signal dan tanpa kesedihan.

Siapakah si Muka Tanpa Dosa? Dia adalah bunda PAUD yang sehari-hari merajut masa depan anak-anak di desa Mandaeng Taheta, sebuah kampung di sebelah pulau Malan yang mulai di tinggalkan. Mengelola TK dengan hanya punya 6 siswa, disebelah gedung SD yang dihuni 16 pelajar dari kelas 1 sd kelas 6.

Siapakah si Gigi Biru? Dia adalah guru KB yang menderita penyakit jantung, yang harus minum obat sepanjang hidupnya, dan hampir kambuh penyakitnya ketika kami datang visitasi.

Atau anda penasaran dengan Si Eci bunda pejuang?

Baiklah, saya akan menceritakan si ECI. Bukan karena sekolahnya berada ditengah padang gembala sapi. Bukan karena sekolahnya tidak memiliki papan nama, karena sudah berubah menjadi pancang tali sapi. Bukan karena APE luar ruangan sekolah yang dipenuhi tahi sapi. Bukan juga karena jumlah siswa nya lebih sedikit dari jumlah kaki sepasang sapi. Saya menceritakan ECI bukan juga karena rumahnya tidak lebih besar kandang sapi.

ECI adalah ECI. Bagi saya, ia sosok yang jauh lebih berharga dari 1000 ekor sapi. Baiklah, saya akan memulai..

Jum'at pagi. Hujan deras mengguyur kota Nanga Bulik dari dini hari. Alam sedang mandi. Hujan sedang  menari. Kami bergegas dari sekretariat BAN PAUD PNF Kabaupaten Lamandau untuk berangkat visitasi. 

Hari itu, kami berangkat ke lembaga yang tidak dapat kami hubungi. Baik lewat WHATSAPPS, FACEBOOK, IG, SMS, Telpon dan bahkan Telepati. Kami tahu, tempat-tempat yang kami kunjungi adalah desa terpencil. Kami berangkat bermodal niat. Kami berangkat dengan menggenggam keyakinan.

Singkat cerita, sampailah kami di Desa Ginih. Sebuah desa kecil di Kec. Batang Kawa dengan jumlah penduduk tak lebih dari 100 KK. Dengan hati yang riang, kami langsung menuju ke TK tak berpapan nama, sebuah gedung sekolah kecil yang banyak sapinya, tepat di samping toilet desa yang gagah dan mewah. 

Sekolah kosong. Hari hujan. Anak-anak masih terlelap. Para orangtua duduk di pintu jendela sambil memanjatkan doa. Lalu kami bertanya, dimanakah gerangan rumah sang guru Kepala TK?

Dengan petunjuk dari beberapa ibu muda di kampung, sampaikah kami di sebuah gubuk kecil, berdinding kayu. Rumah kecil, yang mungkin akan roboh jika seluruh rombongan kami bersama-sama meniupnya dari jarak 1 atau 2 meter. Kami mengetuk pintu. 2 kali. Tidak ada jawaban. Kami ketuk lagi 3 kali. 

Belum ada jawaban. Kami berbalik, pintu terbuka. Muncul seorang ibu muda, dengan rambut pendek lurus, muka tirus dan mata ramah menyapa. Dugaan saya, ia baru saja menidurkan dan menyusui anaknya. Kain daster belahan rendah yang dia kenakan belum sempat dirapikan saat kami datang. Mungkin ia tidak sempat. Mungkin juga dia lupa. 

Dialah si ECI. Si guru TK yang setia mengabdi. Ketika mendengar kabar bahwa kami akan melakukan visitasi, bergegas dia memanggil suaminya. Bergantian menjaga si kecil supaya tidak terjaga. Berlari-lari kecil menuju TK. Ditinggalkannya rumah mungil yang melindunginya dari hujan. Dibukakanlah pintu sekolah tempat ia berjuang untuk kami.

Sekolah kecil, dengan murid hanya segelintir. Tidak ada dana BOP. Tidak ada meja kursi. Hanya ada alas tikar lusuh yang dia punya. Terhampar di bawah papan tulis kecil di depan sebuah meja usang. Sekolah ECI kotor, sepertinya beberapa hari tidak disapu. Perlengkapan permainan seadanya tersusun rapi di pojok ruang. 

Karena hujan, siswa tidak datang. Kami bertanya tentang berkas pembelajaran, dia jawab tidak ada. Kami bertanya tentang data siswa, dia katakan Dinas Pendidikan sudah mengambil satu-satunya yang mereka punya. Kami bertanya tentang administrasi sekolah, dia bilang bahwa semua di simpan di kepalanya.

Lalu, kami menilai apa yang ada. Mencontreng kertas yang kami bawa. Memberi saran kepada si ECI. Membagi semangat kepada si ECI. Dan tentu, membesarkan hatinya.

Kami pamit pulang, setalah salah satu asesor membuatkannya plang nama sekolah. Dari kardus. Ditulis pakai spidol. Dijepit jendela, dan bisa jadi background untuk foto bersama.

Kami berbincang dengan ECI. Gadis muka tirus berambut lurus dan mata ramah. Dia bercerita. Sekolah ini sudah 8 tahun disemainya, dengan tenaganya sendiri, dia punya cita-cita untuk memajukan sekolah kecil itu. 8 tahun dia mengabdi. 8 tahun dia berbakti dan berkarya. Ceritanya mengalir datar. Matanya menerawang mengikuti rintik hujan. Dia menarik nafas, dan menutup pembicaraan dengan berkata :

"AKU AKAN TERUS MENGABDI DI SEKOLAH INI, MESKIPUN DENGAN PENUH PENDERITAAN".

Saya tersenyum. Saya bangga dengan semangat ECI. Ibu muda dari desa, bermuka tirus, berambut lurus, bermata ramah yang memiliki semangat membara. Berjuang nun jauh di sana untuk memajukan Indonesia. Jika ada 1000 Eci di sini, tidak ada lagi anak putus sekolah. Tidak ada lagi anak putus harapan.

Kami pergi meninggalkan sekolah ECI. Saya menerawang ke atas, dan tersenyum getir. .

Terus semangat ECI. Seorang guru TK dari desa, dengan rumah mungil yang membuat saya iba, dengan sekolah kecil seadanya, dengan jumlah siswa tidak seberapa, dengan semangat membara, terus mengobarkan api untuk masa depan Indonesia. Bersusah payah setiap seminggu sekali belajar S-1 PAUD di Universitas Terbuka.

Semangat terus ECI, Indonesia menantimu...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun