Lalu, kami menilai apa yang ada. Mencontreng kertas yang kami bawa. Memberi saran kepada si ECI. Membagi semangat kepada si ECI. Dan tentu, membesarkan hatinya.
Kami pamit pulang, setalah salah satu asesor membuatkannya plang nama sekolah. Dari kardus. Ditulis pakai spidol. Dijepit jendela, dan bisa jadi background untuk foto bersama.
Kami berbincang dengan ECI. Gadis muka tirus berambut lurus dan mata ramah. Dia bercerita. Sekolah ini sudah 8 tahun disemainya, dengan tenaganya sendiri, dia punya cita-cita untuk memajukan sekolah kecil itu. 8 tahun dia mengabdi. 8 tahun dia berbakti dan berkarya. Ceritanya mengalir datar. Matanya menerawang mengikuti rintik hujan. Dia menarik nafas, dan menutup pembicaraan dengan berkata :
"AKU AKAN TERUS MENGABDI DI SEKOLAH INI, MESKIPUN DENGAN PENUH PENDERITAAN".
Saya tersenyum. Saya bangga dengan semangat ECI. Ibu muda dari desa, bermuka tirus, berambut lurus, bermata ramah yang memiliki semangat membara. Berjuang nun jauh di sana untuk memajukan Indonesia. Jika ada 1000 Eci di sini, tidak ada lagi anak putus sekolah. Tidak ada lagi anak putus harapan.
Kami pergi meninggalkan sekolah ECI. Saya menerawang ke atas, dan tersenyum getir. .
Terus semangat ECI. Seorang guru TK dari desa, dengan rumah mungil yang membuat saya iba, dengan sekolah kecil seadanya, dengan jumlah siswa tidak seberapa, dengan semangat membara, terus mengobarkan api untuk masa depan Indonesia. Bersusah payah setiap seminggu sekali belajar S-1 PAUD di Universitas Terbuka.
Semangat terus ECI, Indonesia menantimu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H